Jangan Menikah Hanya Karena Jatuh Cinta, Tapi. . .



Tak ada maksud apapun menuliskan ini, apalagi memilih gambar yang seperti ini. Hanya saja, hati tergerak, dan jemari mengiyakan begitu saja. Sungguh tak ada maksud apapun, berkali-kali bibir berucap demikian, sebanyak itu juga hati menidakkan. Terserahlah, yang penting saat saya menuliskan hal ini, saya anggap hutang itu lunas. Entah hutang pada siapa.

Jangan menikah hanya karena jatuh cinta. Menikahlah karena kamu merasa surga Allah lebih dekat jika bersamanya. Ah, saat saya menemukan kalimat ini secara tidak sengaja di google, saya terperanjat sesaat. Bukan karena kata 'menikah'nya, melainkan kata-kata 'surga Allah lebih dekat jika bersamanya'. Sungguh, sebuah makna yang amat dalam dan indah. Itu benar.

Saya rasa, bukanlah hal yang aneh jika seorang mahasiswa berusia dua puluh tahun merasakan hal yang bernama 'virus merah jambu'. Saya yakin, 80% mahasiswa mengalami ini, terbukti bagaimana mereka menjadikan saya sebagai tempatnya berbagi cerita. Kembali lagi pada kita bagaimana menanganinya. Dibiarkan atau ditindaklanjuti atau malah diberantas habis-habisan. Bagi saya pribadi, suka itu adalah fitrahnya manusia. Tergantung lagi bagaimana bingkainya, akankah kita eksekusi dengan titel 'pacaran' atau menyimpannya dalam peti bernama 'diam'.

Hari ini, saya tak akan bercerita mengenai masalah perasaan, namun masalah yang akan kita kupas lebih krusial dengan topik 'menikah'. Sebenarnya, apa makna pernikahan itu sendiri? Seberapa penting pernikahan itu, dan seseorang seperti apa yang layak kita jadikan sebagai pendamping hidup? Mungkin bagi sebagian teman-teman, pembahasan ini dinilai tabu. Namun, bagi saya tidak. Memang sudah waktunya bagi kita membicarakan perkara ini. Jika tak sekarang, kapan lagi?

Pernikahan. Hanya sepuluh kata, namun beragam tanggapan orang yang mendengarnya. Ada yang senyum-senyum sendiri, ada yang geleng-geleng kepala, malahan ada yang buang muka. Lalu, bagaimana ekspresimu? Jika kamu memutuskan untuk lanjut membaca tulisan ini, itu pertanda kamu tipikal orang yang pertama, senyum-senyum plus ingin tahu. Bener, kan?

Dalam pembahasan sebelumnya, saya sudah pernah mengupas tentang 'Nikah Muda, Siapa Takut' terinspirasi dari buku karangan Ahmad Rifa'i Rif'an. Lalu, apa yang terjadi? Respon dari pembaca setia luar biasa. Delapan puluh delapan penayangan dan menempati rating dua dari semua tulisan di blog saya. Wah, wah. Baik, kita mulai ceritanya, ya.

Tulisan saya kali ini terinspirasi dari sepasang abang kakak yang baru saja menjadi volunteer baru di Acikita Padang. Namanya bang Khilal dan kak Diana. Saya syok berat pas tau bahwa diantara volunteer yang kebanyakan mahasiswa, muncul dua sosok yang tak diduga-duga, ditambah lagi ternyata beliau sudah menikah. Ya Allah, kenapa saya tak menyadarinya dari awal? Saya baru tau saat seseorang membisikkan hal itu pada saya. Bagaimana mungkin saya percaya jika melihat keduanya berpenampilan layaknya mahasiswa? Masih begitu muda. Usia bang Khilal berkisar 27 tahun, dan kak Diana lebih muda tiga tahun dari bang Khilal. Satu hal yang membuat saya lebih takjub lagi, ternyata kak Diana dilamar bang Khilal saat baru menginjak semester dua perkuliahan. Bayangkan, saat itu bang Khilal pun belum wisuda, baru akan wisuda. Apa yang terjadinya? Kun Fayakun, kata Tuhan. Jadi, maka jadilah dia. Bang Khilal menyiapkan semuanya tanpa sepersen pun bantuan dari orang tua. Ya Allah, bagaimana bisa, di usia yang semuda itu? Tahun ini sudah memasuki lima tahun usia pernikahan mereka, dan mereka berdua tampak sangat bahagia dan menikmati hidupnya dengan baik dan rukun. Seorang anak bernama Raihan menjadi pelengkap keluarga kecil itu. Mashaa Allah.


Benar yang dikatakan Ahmad Rifa'i Rif'an dulu, bahwasanya mereka yang menikah di usia muda lebih banyak mengalami emosi yang berwarna, bahagia, senang, sedih, marahan, ego-egoan, baikan, layaknya anak muda. Amat jarang hal ini terjadi pada mereka yang sudah menginjak usia 30 tahunan ke atas, biasanya mereka yang sudah menginjak usia ini emosinya lebih stabil, sehingga tak banyak warna yang mereka tampakkan. Ini menurut saya, ya. Versi saya. :)

Jangan menikah hanya karena jatuh cinta. Menikahlah karena kamu merasa surga Allah lebih dekat jika bersamanya. Ungkapan yang sangat indah. Ya, surga Allah terasa lebih dekat jika bersamanya. Seorang kakak pernah mengatakan pada saya seperti ini, "Nadia, apa amalan unggulanmu? Puasa senin kamiskah? Shalat tahajud kah? Sedekahkah? Shalat dhuhakah? Kelak, jadikan amalan unggulanmu itu menjadi amalan yang akan kamu lakukan bersama pasanganmu nanti. Jika kamu hobi puasa senin-kamis, biasakan juga si 'dia' untuk melakukannya. Dan jika si 'dia' hobinya shalat tahajud, jangan biarkan dia shalat tahajud sendirian, shalatlah bareng-bereng setelah ijab qabul terucapkan." Saya ingat siapa sosok kakak itu sekarang. Beliaulah penulis bestseller, 'Ahmad Rifa'i Rif'an'. Ia ucapkan itu pada semua pembaca melalui tulisannya.

Jika amalan unggulan masing-masing dipadukan, apa yang terjadi? Benarlah ungkapan bahwa surga Allah lebih dekat jika bersamanya. Bukankah itu kebahagiaan dunia-akhirat yang diidamkan oleh setiap insan? Semoga, semoga.


Lalu, muncul pertanyaan. Sosok seperti apa yang dapat kita jadikan sebagai pasangan kelak? Pertama, pilihlah mereka yang agamanya baik. Mereka yang baik, ia akan memperlakukanmu dengan baik. Bahkan, jika ia tidak mencintaimu, maka mereka tak akan menyakiti hatimu. Kedua, pilihlah mereka yang amat menyayangi ibunya. Sebab, mereka yang menyayangi ibunya, tak akan sanggup melukai hatimu. Mereka amat mengayomi kaum hawa, sebab ia menyadari bahwa ibunya juga kaum hawa yang harus dilindungi dan diperlakukan sebaik mungkin. Ketiga, ujilah mereka dengan kelakuan burukmu. Ada sebuah tulisan yang saya kutip dari Mas Tere Liye. Begini katanya.
"Sebenarnya banyak cara untuk melihat apakah seseorang itu cocok buat kita atau tidak.
Salah-satunya, ujilah dengan "marah" misalnya. Jika dia tetap bersabar atas tingkah laku buruk kita, boleh jadi dia cocok untuk kita.
Teori ini tidak selalu benar, tapi hanya orang-orang yang bersabar atas perangai buruk kitalah yang berhak mendapatkan hal-hal terbaik dari kita."
*Tere Liye
Menurut saya, tiga indikator di atas merupakan garis besar yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk memilih pasangan kelak. Lalu, apa pendapat saya tentang menikah muda? Sebenarnya ada dua kubu yang bertolak belakang bersemayam dalam hati saya. Lanjut studi-Karier-Menikah atau Menikah-Lanjut Studi-Karier. Saya memang harus tamat kuliah dulu, minimal. Jika tidak, bagaimana saya bisa membalas budi orang tua, bagaimana bisa saya membahagiakan orang tua? Itu adalah bisikan dari kubu pertama. Lalu, apa tangkisan dari kubu kedua? Jika kamu tidak segera menikah, seberapa mampu kamu bisa menjaga diri? Seberapa mampu kamu menjaga hati? Apa kamu bisa menanganinya sendiri? Lalu, apa lagi balasan dari kubu pertama? Bagaimana mungkin kamu bisa membagi waktu dengan baik? Apa kamu bisa? Dilibatkan dengan beberapa kepanitiaan saja, kamu sudah ambruk. Bagaimana mungkin dengan berumah tangga? Apa jawaban kubu kedua? Kamu bisa belajar, segala sesuatu itu ada prosesnya. Kalau nunggu siap, sampai kapan? Ah, mereka akan terus bertentangan seperti itu. Jadi, bagaimana jalan tengahnya? Belajar dulu dengan giat, sungguh-sungguh, nikmati semua ilmu, lahap sebanyak-banyaknya sampai suatu hari dia datang menemui walimu. Itulah saatnya kamu berhenti sejenak dengan semua kesenanganmu dan berdiskusi dengan orang tua. Saat itulah kamu mempertimbangkan semuanya. Jika belum saatnya, nikmati semuanya, lahap semuanya sebanyak mungkin. Jadi, buat teman-teman, jangan galau lagi, ya. Mereka akan datang di saat yang tepat, saat mereka telah siap.

Menikah muda? Tak ada yang salah. Itulah hebatnya mereka. Mereka lebih memilih menjaga dirinya dibandingkan mendengarkan persepsi orang lain. Mereka terus belajar membaikkan diri, melengkapi satu sama lain bahkan saat ijab qabul telah terucap. Salut! Lalu, bagaimana dengan mereka yang lebih 'memprioritaskan studi'nya? Itu juga tak salah. Selama penantian, tak ada salahnya membaikkan diri, bukan? Seperti yang kak Tin ucapkan, toh, menikah juga bukan lomba lari, yang mengharuskan mereka balap-balapan. Menikah itu adalah ketika telah siap, ketika tiba waktu yang tepat.

Semoga, abang kakak Acikita segera dipertemukan dengan jodohnya masing-masing. Kak Helni sama kak Dede juga, oh ya, kak Meta juga. Aamiin, aamiin. Berharap ungkapan ini menjadi penutup yang indah untuk sesi kali ini.
"Jangan menikah hanya karena jatuh cinta. Menikahlah karena kamu merasa surga Allah lebih dekat jika bersamanya."
Semoga tulisan ini bermanfaat dan teman-teman segera mengeksekusi niat baik ini bersama seseorang yang tak kalah baiknya. Bersama menuju jannah. Jangan ketawa, ya. Saya bukan bermaksud mengajari, hanya sharing sedikit, sebab saya tau ilmu ini akan terlupakan jika tak saya tuliskan. Jadi, kembali pada kata saya di awal. Sungguh, tak ada maksud apapun! Semoga kak Diana dan bang Khilal menjadi teladan bagi teman-teman semua. Sekian.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer