Langsung ke konten utama
Ilmu Baru
Hari ini,
aku berjalan menyusuri pepohonan rindang dekat FMIPA, bermaksud mengerjakan
tugas di bawahnya. Dari kejauhan telah tampak mahasiswa bercengkerama satu sama
lain digerai canda tawa. Tak mau ketinggalan, segera saja kaki ini melangkah
lebih cepat, agar kebagian salah satu tempat yang kurasa cukup teduh. Setelah
celingak-celinguk kesana kemari, kutemukan sebuah tempat yang terbilang cukup
strategis. Alhamdulillah. Kulepaskan tas yang dari tadi membebani pundakku
sambil mengeluarkan buku tugas. Baru saja kugoreskan pulpen ke lembaran tugas,
seseorang memanggilku.
“Dik,
jurusan apa dik?
Kulayangkan
pandanganku pada sumber suara, ternyata yang memanggilku adalah seorang pemuda
yang tak pernah kukenal sebelumnya. Ia mengumbar senyum, aku balas mengangguk
diselipi keraguan. Siapakah ini gerangan? Kurasa, ia masih menunggu jawaban
dariku, segera saja kujawab,
“Jurusan
kimia, bang. Abang jurusan apa?
“Fisika,
dik.
“Ooh.
“Abang dulu juga pernah belajar kimia, tugasnya luar biasa banyak, dik.
Laporan, plus jurnal. Padahal jurusan lain ga segitunya, dik.
Aku
tersenyum. Dalam hati aku bergumam, aku harus mencuri ilmu dari abang ini.
Kenapa? Kuakui, aku punya bakat dalam menilai orang lain, termasuk dari caranya
berbicara. Pertanyaan yang dilontar abang ini sederhana, namun dari intonasi,
mimik wajah, dan ketenangan yang beliau miliki, membuatku rela melupakan buku
tugas yang sedang kukerjakan karena satu hal, “Abang ini bukan orang biasa.”
Aku
menanyakan apa mimpinya. Beliau menjawab dengan lantang, mimpinya adalah menjadi
pendidik. Sontak aku kaget, tak pernah aku mendengar jawaban selugas ini terucap
dari seorang pemuda sebelumnya. Beliau juga bercerita, dari dulu suka belajar
fisika. Malahan di SMA, yang ngajar fisika kelas abang itu guru kimia, lho.
Gurunya asik aja, abang jadi semangat belajarnya. Ajaibnya lagi, satu-satunya
dari angkatan abang yang ngambil fisika cuman abang, ujar abang masih dengan
senyumnya yang khas.
“Pernah
merasa jenuh bang? Tanyaku yang masih penasaran dengan pola pikir abang ini.
“Jenuh pasti ada, hanya saja yah, tergantung kita mengakali. Kalau biasanya
ngerjain tugas di kamar pagi, maka ayo diganti tempatnya juga jamnya. Kalau
bosan belajar,ya selingi sama baca Qur’an.
Aku
mengangguk bertingkah seperti anak kecil yang baru mengenal dunia. Hehe.
Tiba-tiba beliau menanyakan siapa namaku, kujawab dengan lantang, “Nadia,
bang.”
Tanpa membuang waktu, segera saja kulontarkan butiran pertanyaan pada beliau. “Abang punya mimpi? “Mimpi
itu abang tulis?"
Dengan
sabar, beliau menjawab pertanyaanku satu per satu. Ternyata beliau baru
menargeti mimpinya sekarang, ketika memasuki tahun keempat perkuliahan. Ada
gurat penyesalan kuamati dari bicaranya. Kenapa tak dari dulu bermimpi. Setiap
mimpi beliau tulisi. Abang perhatikan, sepertinya Nadia tipe yang suka
berimajinasi, balasnya, masih dengan senyuman.
Baru
kutahu bahwa abang itu berada disana tengah menanti PA. Anak tahun 4 ada di
kampus, bukan lagi untuk ngisi waktu kosong, bukan juga lagi nungguin teman, pastinya
punya tujuan.
Satu hal yang tak pernah ingin kulupakan dari semua cerita abang itu. “ Abang
bangga menjadi orang IPA”. Tentu saja, orang IPA yang mengandalkan logika.
Ketika orang lain berbicara dengan menggandeng pendapat para ahli, orang IPA
tidak. Ia akan beretorika dengan logikanya. Apa logika itu dapat dibantah?
Tentu tidak, logika mampu melumpuhkan lawan bicara, membuatnya terdiam seribu
bahasa. Rajin pula. Itu dikarenakan kami terbiasa dibebani tugas yang banyak,
diselingi praktikum dan responsi, plus jurnal dan laporan. Hehe, kesibukan tiada henti. :)
Terakhir,
beliau menutup ceritanya dengan betapa pentingnya organisasi. Disana kita akan
belajar toleransi,bekerja sama, memecahkan masalah dalam waktu singkat,
proposal, dan lainnya. Nadia, ketika orang lain merasa terbantu dengan apapun
yang kita perbuat, hati ini akan terasa hangat. Abang bahagia, tutupnya takzim.
Setelah
bercerita cukup lama, seakan kawan lama yang baru bersua, aku baru menyadari
satu hal. Di jaket hitam yang dikenakan abang ini tereja sebuah nama, “Muhammad Hari”, Koor. DPT PSDM. Aku mengejanya dalam hati, Siapakah beliau? Aku
memprediksi beliau adalah salah seorang pengurus BEM. Ingin rasanya aku bertanya,
namun hanya mampu kusemat dalam hati.
Segera
kulirik ponsel, Yap, waktu sudah menunjukkan pukul 09.40 WIB, saatnya kuliah.
Aku pamit undur diri tak lupa mengucapkan terimakasih atas ilmunya. Abang itu kembali tersenyum melepas kepergianku.
Kusandang ransel berat itu, aku segera berlari memasuki ruang standar, masih
dengan senyum yang penuh makna. Dalam hati aku berbisik, Terimakasih ya Allah. Untuk
kesekian kalinya Engkau pertemukan hamba-Mu ini dengan orang luar biasa yang
kembali mencipratkan ilmunya mengenaiku. Tempa aku menjadi salah satu dari
“mereka” ya Allah. Mereka yang merasa bahagia ketika mampu berkontribusi untuk
orang banyak. Aamiin.
Keesokan
harinya, sahabatku mengunjungiku. Aku membeberkan apa yang terjadi kemarin dan
tak lupa aku menyebutkan nama abang yang sangat menginspirasi itu. “Muhammad Hari”, sahabatku terdiam lama menatapku. Aku heran, siapakah dia? Dengan mata
membelalak, ia meneriakiku. “Kau tak mengenalnya, Nadia? Beliau adalah wakil
presiden BEM dan kau tak mengenalinya? “, ujar sahabatku nyerocos.
Aku
melongo, terdiam, tak tahu harus bicara apa. Untuk kesekian kalinya aku
mengutuk dalam hati. Ingin rasanya menepuk jidat berkali-kali. Sungguh, aku tak
percaya dengan cerita yang ada. Ini ibarat kejutan kecil yang dilempar Tuhan
secara mengagumkan kepadaku. Aku menunduk dalam-dalam. Oh Tuhan, betapa
memalukannya diriku.
Sahabat,
hidup sungguh jenaka. Masih banyak kertas kosong yang harus kuisi. Bantu aku
mewarnainya, agar kertas putih itu kelak menjadi nostalgia indah untuk kita kenang.
Salam hangat penuh semangat! Huft, aku benar-benar memalukan. :(
Komentar
Posting Komentar