Sekarang, Usiaku 19 tahun, Pa


Ketika kutanya pada Papa apa makna di balik namaku, papa malah menanggapi pertanyaanku dengan tersenyum. “ Ya (nama panggilan kecilku), Nadia itu artinya anak pertama, Minangi itu pertanda bahwa iya itu keturunan orang Minang, dan Dasman itu iya pasti tau artinya apa, itu nama papa, yang sengaja papa sematkan di belakang namamu.

Semenjak tangisanku memecah kesunyian Rumah Sakit M. Djamil Padang, spontan papa membisikkan sebuah nama yang indah di telinga mungilku. “ Nadia”.  Nadia itu artinya anak pertama. Sebuah nama yang cukup simpel bagi orang kebanyakan. Lengkapnya, Nadia Minangi Dasman. Dikala itu aku belum bisa terima terkait nama yang kunilai cukup berbeda itu. Usiaku saat itu masih 7 tahun. Dengan polosnya kuminta pada papa agar mengganti namaku menjadi “Angel” atau lainnya (korban sinetron, hehe). Papa tetap menggeleng tegas. Baik, aku menyerah, tak mampu melawan suratan nama yang telah ditetapkan sang ayah.

Sahabat, dikala ku sedang menguntai kata demi kata dalam tulisan sederhana ini, usiaku 19 tahun. Waktu berjalan begitu cepat, melesat ibarat anak panah yang menghujam tanpa henti. Malam ini, kurasakan desiran di dalam dada. Sontak mengingatkanku pada masa lalu yang indah, sungguh begitu indah untuk diungkapkan. Sudah sebelas tahun berlalu, semenjak papa meninggalkanku menuju peristirahatan abadi. Papa itu inspirasiku, tak pernah mengecewakan, ayah yang paling kubanggakan di dunia ini. Semenjak kecil, karena adik laki-lakiku begitu dekat dengan mama, aku kehilangan teman tempat bersandar. Papa merangkulku. Setiap hari Minggu, papa selalu mengajakku dan keluarga jalan-jalan. Dan tentu saja, papa selalu menggenggam tanganku, si putri kecilnya. Genggaman yang begitu hangat mampu membuatku tenang.

Tepat satu tahun kemudian, aku yang masih kecil mulai merasakan hal yang berbeda pada papa. Tubuh papa mulai kurus dan seringkali terlihat pucat. Satu hal yang membuatku makin heran, aku dan adik diboyong papa mama ikut ke Jakarta tanpa alasan yang jelas, hanya diberitahu “Nak, papamu sakit. Kita berobat ke Jakarta, ya”. Nadia kecil hanya mampu mengerjapkan mata tanpa tau sesuatu yang disembunyikan oleh sang mama. Akhirnya, kami berangkat menuju Jakarta, tempat dimana omku berada, bermaksud tinggal sementara disana.

Setibanya disana, kami ditempatkan om di lantai dua rumahnya yang laksana istana. Tak pernah terlintas di benakku akan tinggal disini. Malahan, Aku dan adik pun berhenti sekolah untuk beberapa lama dalam jangka waktu yang tak menentu karena keberangkatan kami ke kota metropolitan ini. 


Tentu saja kujalani hari-hariku sama dengan anak kelas 2 SD lainnya. Berlari, ketawa, bertengkar, dapat kulakukan semauku, dimana pun, termasuk di tempat baru ini. Bedanya sekarang, tanpa papa dan mama di sisi kami, bertingkah bagai si kecil yang sudah dewasa. Papa mulai rutin berobat ke rumah sakit ditemani mama. Sementara kami, diasuh sementara oleh Tante Sri, istrinya om. 

Tante orangnya anggun, keibuan, dan yang paling kusenangi darinya adalah tumpukan masakan spesialnya yang begitu menggoda. Tentu saja, lezat dan nikmat. Malamnya, kami tetap belajar ditemani Tante, masih jelas di ingatanku, kami diajari alfabet, cara membaca, cerita-cerita, sangat menyenangkan pastinya. Hari demi hari kami lewati dengan hal yang sedikit berbeda dari di rumah dulu. Sepi memang setelah lama tak melihat wajah teduh papa dan mama.
 
Suatu malam, kuinjakkan kaki di ruang keluarga. Tampak olehku sosok yang telah menumbuhkan rindu di hati. Papa? Ya, itu papa! Segera kudekati papa dan duduk di samping beliau. 

Tiba-tiba papa berkata,
“Maaf ya, Nak. Gara-gara papa sakit, iya terpaksa libur sekolah. Pasti iya udah rindu teman-teman”.
Aku terdiam sesaat dan segera menggeleng keras. “Ndak apa, Pa. Iya senang kok disini. Kan enak, Pa. Libur!”, ujarku dengan lugu. Papa tersenyum dan mengedarkan pandangannya ke Televisi.

 
Ternyata malam ini, papa dan mama menginap di rumah. Aku yang masih kecil bersorak kegirangan. Keesokan harinya, papa mengajakku dan adik ke kebun binatang. Ditemani mama, kakak, dan pak sopir. Segera saja kukenakan pakaian terbaikku, dan tentu saja topi bundar yang menutupi rambut pendekku. Lucu sekali jika dikenang lagi masa itu.

Di kebun binatang, kudekati tempat-tempat yang membuatku penasaran. Mulai dari burung hingga ular raksasa. Kami sekeluarga berpose sepongah mungkin di bawah silaunya jepretan kamera sang kakak. Aku senang. Sangat senang. Kami habiskan waktu di kebun binatang ini seharian. Ketika matahari mulai mendekati tempat peraduannya, kami putuskan untuk pulang ke rumah. Esoknya, hari-hari kujalani lagi seperti biasa, tanpa kehadiran papa dan mama.

Beberapa bulan kemudian, entah apa asal muasalnya, papa mama memutuskan kami sekeluarga kembali ke Padang. Papa mulai melakukan pengobatan tradisional di Bukittinggi. Aku pulang, tidak benar-benar pulang, karena beberapa minggu ke depan, kami pindah lagi ke Payakumbuh, sementara. Karena letaknya dinilai berdekatan dengan Bukittinggi, kami sementara tinggal di sana, tepatnya di rumah bibi, kakak dari papa. Diam-diam aku merasa senang karena dengan begitu, kami tetap tidak perlu pergi sekolah.

Bibi begitu ramah, bahkan beliaulah yang mengajarkan lagu 17 Agustus pada kami. Masakannya juga tidak kalah spesial, enak sekali. Menggugah selera siapa pun itu.

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Kupandangi papa. Kondisi papa semakin melemah. Ia telah terbaring tak berdaya diatas tempat tidur. Meringkuk lemah di balik selimut yang menutupi sebagian kecil tubuhnya. Ku masih ingat, saat itu adalah bulan Ramadhan, bulan Ramadhan kedua yang kulewati di Indonesia. Aku belajar berpuasa. Papa dibantu duduk oleh mama untuk makan siang. Mama menyuapkan sesendok demi sesendok nasi ke mulutnya papa. Tiba-tiba, papa menunjukku dengan jemarinya. Memberi isyarat dengan mendekatkan kepalan tangan ke mulutnya. “Akan”, ucap papa dengan terbata. Aku tak paham. Mama menjelaskan padaku, “Papa bilang, iya ndak makan?”. Seulas senyum merekah di bibirku. “Iya puasa, Pa.” Ucapku dengan bangga sambil tertawa. Mama pun bilang ke papa bahwa aku puasa. Papa terdiam. Nurut disuapi mama.

Kumulai menyadari, kondisi papa berubah drastis. Papa mulai jarang berbicara. Ketika papa sedang berbaring di tempat tidur, aku shalat di depan beliau. Shalatku ibarat api, cepat dan buru-buru. Kutahu, papa memandangiku dengan kecewa. Perasaan papa ketika itu baru dapat kukuak sekarang, saat aku telah mulai menyikapi sesuatu dengan bijak, di usiaku 19 tahun.

Beberapa hari kemudian, rumah bibi pecah oleh suara keributan. Mama berteriak memanggil bibi, papaku dalam kondisi semakin lemah. Aku berlari menuju kamar papa. Hanya dapat melongo menatap mama dan bibi yang cekatan mengambil tindakan. Tak lama kemudian, bidan datang, dengan sigap memberi pertolongan pertama. Aku semakin tak mengerti. Satu menit, dua menit berlalu. Setelah itu, semuanya menjadi gelap. Semuanya menjadi berbeda. Mama histeris, menangis dengan keras. Bibi juga menangis. Mendekap mama. Mereka terduduk, sambil menangis tersedu-sedu.

Tak lama kemudian, rumah bibi didatangi oleh banyak orang. Ku tak tau siapa saja mereka, entah darimana datangnya. Mereka berpakaian hitam-hitam. Papa kulihat dibaringkan di tengah ruangan dalam kondisi bersidekap. Wajahnya ditutupi selendang. Mereka berpakaian hitam-hitam itu membuka selendang yang menutupi wajah papa, menciumnya. Begitu seterusnya secara bergantian. Kini, di usiaku yang 19, aku telah mengerti. Ya, aku mengerti bahwa papa telah tiada. Tiada lagi bersamaku merajut hidup. Papa sekarang telah tinggal di dunia yang berbeda.
Usiaku sekarang, 19 tahun. Kujalani hariku sama dengan anak yang lainnya. Hidup tetap berlanjut walau tanpa dia yang kubangga. 

Sahabat, apakah kau pernah merasakan hidupmu berubah? Dari suatu yang ada menjadi tiada, rindu berubah menjadi pilu. Teramat menyakitkan bagiku sekarang, di usiaku yang 19 tahun.
Usiaku sekarang 19 tahun, sekilas aku sama dengan kalian. Namun sesungguhnya, aku berbeda. Sepotong jiwaku telah lama hilang. Kini, aku hanya curhat dengan mama dan sahabat, tanpa sosok seorang ayah. Tanpa ada tepukan pundak papa, tanpa belaian lembut tangan papa, dan tanpa papa di sampingku. Rasa iri ini masih tetap berbekas, dikala teman-temanku didatangi oleh papamereka ke kosannya, ketika mereka ketawa bahagia bersama papanya, bercanda ria melalui ponsel, dan tentu saja masih banyak rentetan fakta yang kutakuti. Tanpa papa di hari-hari besarku nanti, saatku wisuda dan saatku menikah.

Terkadang, kubisikkan doa pada Tuhan, “Ya Allah, pertemukanlah hamba dengan Papa barang sejenak. 5 menit saja, walau itu hanya di dalam mimpi. Biarkan aku mengungkapkan asa yang tersimpan di hati ini, 5 menit saja, Ya Allah. Beri aku kesempatan mengatakan padanya bahwa ku teramat menyayanginya”.

Kini aku ingat semuanya. Aku tak pernah sekalipun mengatakan maaf pada papa. Pernah tebersit di hatiku untuk mengirim sebuah surat padanya dikala itu, di kala beliau masih sehat dan segar. Namun, surat itu tak pernah sampai. Tak pernah sampai padanya yang amat kusayangi.

Ku juga tahu, aku tak pernah mengucapkan padanya, “Iya sayang Papa!”. Tak sekalipun. Aku berharap sekarang papa mendengarnya. Seseorang pernah mengatakan padaku, “Sesuatu yang disampaikan oleh hati akan sampai ke hati”. Aku percaya ucapan itu. 
Apakah sahabat tau, hanya sekali seumur hidupku, aku pergi ke Masjid bersama papa. Kebiasaan yang kusangka akan berlanjut terus pada hari esok. Dan esoknya lagi. Ternyata tidak demikian ketika tumor ganas itu mulai menyerang secara bertubi-tubi jaringan otak papaku. Ya, tumor otak yang menyebabkan papaku dilanda derita, hingga akhir hidupnya. 

Ya Allah, gugurkanlah dosa-dosa papa akan sakit yang telah dideritanya. Berilah ampunan pada papa. Sayangi papa Ya Allah, dekap dia dengan kasih sayangmu. Balaslah amal papa di dunia dengan surgamu yang mendamaikan. Pertemukanlah hamba dengan dirinya kelak di surgamu Ya Rabb…
Sahabat, pesanku sekarang, berbaktilah pada ayah ibumu. Katakan pada mereka, “Aku sayang ayah, aku sayang ibu”. Katakanlah sobat. Jangan meniru diriku, yang hanya mampu meratapi semua ini. Hanya berakhir pada sesal tiada guna.
Aku merasa sakit? Tentu saja. Namun tentu saja perasaan ini tidak sepilu adik-adik kita yang telah yatim piatu, bahkan semenjak lahirnya. Sahabat, masih banyak hal yang harus kita syukuri dan kita gali di dunia ini. Saat kau membuka pintu, telah banyak masalah menanti untuk kau selesaikan. Banyak teman menantimu diluar, untuk merangkul dan memberimu kekuatan. Jalani hidup dengan tersenyum, apapun yang terjadi. Tuhan tau bahwa kau mampu.
Pa, dulu iya minta nama iya ditukar
Sekarang ndak lagi, Pa
Setiap iya memperkenalkan diri
ia sebutkan nama dengan lantang
nama saya Nadia Minangi Dasman
tanpa disadari
orang mulai akrab dengan nama
yang dulu iya kira sedikit berbeda
Mudah-mudahan tidak hanya kini
namun juga nanti
Iya sayang Papa.
Dari Puteri kecilmu,
Nadia Minangi Dasman

Komentar

Postingan Populer