Ibu




Teruntuk Ibu

Di Rumah

Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Ibu, ini aku. Anakmu sekarang sudah beranjak dewasa, Bu. Sekarang usiaku menginjak sembilan belas tahun. Sepanjang hidupku, inilah untuk pertama kalinya aku menuliskan sesuatu untukmu. Bagaimana kabar Ibu disana? Aku merindukan hadirmu disampingku, Bu. Setiapkali ibu menghubungiku, ibu selalu mengatakan padaku bahwa ibu baik-baik saja. Mengapa ibu tak mengatakan yang sejujurnya? Apa ibu takut menggangguku? Apa ibu takut membuatku cemas? Ibu, rindu ini membuncah di dada dan tak mampu lagi kutahan.

Ibu, aku lemah ketika jauh darimu. Aku rapuh tanpamu hadirmu. Aku selalu ingin tidur di pangkuanmu seperti masa itu, masa ketika aku belum mengenal beratnya hidup, masa dimana aku tahu bahwa aku akan baik-baik selama bersama ibu. Bu, hari ini, aku akan mengungkap semua isi hatiku. Baca dengan perlahan ya, Bu.

Bu, aku pernah menyaksikan sebuah tayangan drama. Dikala itu, seorang dosen bertanya pada mahasiswanya, “Apakah kata yang paling indah di dunia?”. Spontan, mahasiswa itu menjawab, “Cinta”. Dosen itu menggelengkan kepalanya. Mahasiswa itu kembali berpikir keras. Tak lama kemudian, ia menjawab, “Bunga!” Keluarga!”. Dosennya seraya tersenyum kembali menggeleng, lalu akhirnya ia berkata, “Kata yang paling indah di dunia itu, adalah ‘ibu’.”

Bu, itu benar. Kata yang paling indah di dunia adalah ibu, dan dengan hadirnya ibu di sampingku, keindahan itu terasa sempurna. Terimakasih ibu. Ibu telah melahirkan dan membesarkanku dengan baik. Cintamu tak pernah lekang oleh zaman. Sembilan belas tahun lamanya engkau menemaniku untuk terus tumbuh ibu. Memang benar kata pujangga bahwa cinta ibu itu sepanjang jalan. Aku tahu sampai detik ini ibu masih menganggapku anak kecil yang harus dijaga. Aku bahagia karena dengan begitu aku tak merasa sendirian dalam menghadapi apapun, karena ibu selalu ada di belakangku.

Bu, ketika aku masih TK, ibu mengajariku bersepeda untuk pertama kalinya. Berulang kali ibu mendorong dari belakang, meyakinkanku, “Kau pasti bisa, Nak.” Namun pada akhirnya, aku mengecewakanmu, latihan kita gagal, Bu. Aku tak bisa! Aku takut jatuh, ujarku. Ibu akhirnya mengalah dan mengajakku pulang. Masihkah ibu ingat masa itu? Masa dimana aku memangkas harapan-harapan kecilmu.

Bu, ketika aku beranjak SD, ibu terus memperhatikan dan menjagaku. Ibu mengantar dan menjemputku tanpa kenal lelah. Ibu menjalankan tugas sebagai single parent dengan amat baik. Namun suatu ketika, ketika ibu mengantarku ke sekolah, sesuatu terjadi. Ban sepeda motor bocor, otomatis kendaraan tua itu berhenti bergerak. Kemudian, aku yang masih kecil meneriakimu. “Ibu jahat! Gara-gara ibu, aku telat!” Sambil berlari menahan isak tangis, berulang kali kulontarkan kata-kata mematikan itu padamu, Ibu. Ibu masih berlari mengejarku, namun aku meninggalkanmu sendiri, Ibu. Aku membiarkanmu sendiri dengan masalah itu. Aku pecundang yang lebih mementingkan sekolah dibandingkan dirimu, Ibu.  Ibu, maafkan aku. Aku benar-benar anak yang berdosa. 

Ibu, apakah ibu masih ingat malam-malam dingin yang kita lewati setelah kepergian ayah? Ibu tak pernah memasang gurat sedih di hadapan kami, anak-anakmu. Bu, Masihkah ibu ingat ketika kita mendengar bunyi ketokan dari luar rumah? Kami ketakutan, lalu ibu dengan berani berteriak meniru suara laki-laki, “Siapa di luar sana!”. Ibu, saat itu aku tahu ibu sendiri benar-benar takut. Keberanian ibu muncul demi kami, Bu. Bu, mengapa ibu selalu menjadi superhero yang hebat di hadapan kami? Ibu seolah tanpa masalah, walau kutahu ibu selalu menutupinya dengan sempurna. Ibu, terimakasih telah menjadi ibu yang kuat untuk kami. Jika bebanmu berat, curahkan padaku, Bu. Jangan simpan sendiri, ya Bu.

Bu, aku masih ingat hari itu. Hari dimana aku menggigil kedinginan. Aku muntah berkali-kali di kamar dan rasanya sangat menyakitkan. Tiba-tiba pintu kamarku terbuka, ibu merangkak mendekatiku sambil memegangi perut ibu yang sakit. Aku terdiam membisu. Ibu menggapaiku dan memijat pundakku. Ibu, mengapa ibu melakukan semua itu untukku? Ibu sendiri sedang sakit parah, jangan pedulikan aku! Mataku basah, aku melihat pancaran ketulusanmu hari itu , Ibu. Ibu, engkau ibarat bidadari yang tak pernah mempersoalkan sakitnya. Ibu mengurusi kami tanpa mempedulikan kesehatan ibu. Jangan seperti itu, Bu. Bu, hiduplah dengan baik. Jaga kesehatan ibu, ya Bu.

Saat aku beranjak dewasa, aku melakukan banyak hal-hal baru bersama teman-teman. Mulai dari organisasi kampus, belajar kelompok, mengikuti seminar motivasi dan sebagainya. Terakhir kali, aku menjadi panitia salah satu acara kampus. Benar-benar sibuk dengan semua persiapannya hingga memaksaku pulang agak kemalaman. Sesampainya di kosan, kulihat layar ponselku. Delapan panggilan tak terjawab, dan itu semua adalah panggilanmu, Bu. 

Aku tahu ibu sedang cemas karena aku tak mengangkat telepon darimu. Ibu pasti tahu aku belum pulang. Tak lama kemudian, ponselku berdering. Tak ada suara, yang ada hanyalah isakan tangis. Aku amati nama pemanggilnya, ternyata itu darimu, ibu. Malam itu, ibu memarahiku habis-habisan sambil menangis. Ibu menutup telepon dengan seuntai kalimat, “Ibu tak memintamu jadi apa-apa, Nak. Cukuplah kau tumbuh dengan baik, itu saja.” Apakah ibu masih ingat? Ibu, mengapa ibu selalu mencemaskan diriku? Jangan cemas, Bu. Aku insyaAllah akan baik-baik saja.

Hari ini aku sadar betapa berharganya dirimu, Ibu. Ketika aku merasa begitu lelah, ibu mengatakan padaku, “Jangan terlalu dipaksakan, istirahatlah, Nak. Ketika aku pulang ke rumah, ibu telah merapikan kamar tidurku dengan sangat nyaman agar aku bisa tidur dengan lelap. Ketika aku mengeluh tentang banyak hal, ibu selalu setia mendengar semua keluh kesahku.

Ibu, satu hal yang ingin kubisikkan dari dulu.
Aku menyayangimu, Ibu. Teramat menyayangimu. Aku bangga menjadi anakmu dan bahagia terlahir sebagai putrimu. Terimakasih ibu, karena ibu telah menjadi ibu untukku. Aku merasa bahwa Allah melemparkan kejutan yang begitu indah semenjak lahirku di dunia. Ibu tahu kenapa? Karena Allah memilihmu menjadi ibuku. Aku bahagia karena Allah menitipkanku dalam dekapanmu.
Bu, maafkan tumpukan kesalahanku padamu, ibu. Aku benar-benar anak yang tak tahu terimakasih. Maafkan aku, Bu. Aku belum mampu menjadi anak yang baik untukmu. Semoga Allah mengasihimu sebagaimana engkau mengasihiku sejak kecil. Aamiin.
Ibu, hari iniaku punya mimpi baru lagi! Impianku hari ini adalah aku angin menjadi ibu yang hebat seperti dirmu, Bu.
Doakan aku ya, Bu.                                                   
Wassalam,                  
Dari anakmu yang bandel
                                                                                                                                   

Nadia Minangi Dasman

Komentar

  1. Nanad, bisa bana buek urg manangih dek baco tulisan ko.. :'(
    Makasih Nanad.. Aku jadi pembaca setia mu.. Haha
    Insya Allah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe, alhamdulillah kakak. Kakak jugaa, ayoo nulis.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer