Seseorang di Balik Hijab


Hari ini adalah hari terakhir ujian UAS dalam perkuliahanku di semester 3. Lega, itu yang tengah kurasakan setelah menghadapi tekanan bertubi-tubi selama menjalani semester ini. Semester 3, benar-benar mengerikan. Syukurlah semuanya telah terlewati. 

Setelah mengumpulkan lembaran jawaban, aku segera menarik ranselku dan berjalan keluar. Aku tak menghiraukan keberadaan teman-teman yang masih membahas serba serbi ujian. Aku lelah dan ingin menenangkan diri. Aku segera melangkah menuju ruangan tempat berkumpulnya panitia Pekan Ilmiah Kimia untuk memcari tahu apa yang harus kulakukan. Sudah empat hari aku cuti tanpa alasan yang dibenarkan. Aku merasa bersalah. 

Tak kurang satu meter jarakku dari ruangan itu. Namun langkah kakiku terhenti. Aku mencoba untuk kembali melangkah, namun aku malah berbalik dan menjauhi ruangan itu. Apa yang terjadi, aku tak tahu pasti. Hatiku kembali berulah. Beginilah sikapku setiap kali merasa minder. Dalam persepsiku, kehadiranku akan membuat mereka merasa tak nyaman sehingga aku lebih memilih untuk menjauh. Jangan heran ketika kau mendapatiku banyak diamnya, sebab itulah pertanda bahwa aku merasa tidak dapat memasuki obrolan orang lain. Aku benar-benar benci menghadapi situasi seperti ini. Situasi dimana kau tak tahu harus berbuat apa dan bertingkah seperti orang bodoh. 

Kakiku menuntunku menuju mushalla yang letaknya tak jauh dari ruangan itu. Kulirik jam dinding, waktu masih menunjukkan pukul 10.16 WIB. Sudah beberapa hari ini aku mengabaikan shalat dhuha walau hatiku mengingatkannya. Tapi inilah manusia, saat mereka berontak, mereka akan mengabaikan semuanya. Hatiku tergerak untuk shalat, segera kuletakkan ransel dan menuju kamar mandi bermaksud mengambil wudhu. Kukenakan mukenah dan shalat dua rakaat. Perasaanku lebih tenang dari sebelumnya. Tiba-tiba, aku mendengar lantunan tilawah itu. 

Kupejemkan mata dan kusimak lantunan tilawah yang berasal dari balik hijab itu. Suaranya lirih namun begitu indah. Aku merasakan kedamaian saat mendengarnya. Lantunannya seolah mengisi kembali jiwaku yang kosong, begitu hangat. Kusandarkan kepalaku di dinding, aku merasa semua masalah menguap. Entah kenapa, aku merasa ingin terus di tempat ini. Hatiku enggan beranjak, aku masih ingin mendengarnya. 

Saat mendengar lantunan itu, aku merasa damai sekaligus malu. Malu pada seseorang itu. Aku merasa diriku begitu kecil di hadapan Allah. Bahkan, untuk tilawah sejenak saja aku enggan. Benarkah aku seorang muslimah? Aku ragu. Aku tertunduk malu di musholla itu. Aku ingin kembali pada-Nya. Hidup macam apa yang kujalani sekarang. Aku terpedaya akan kemolekan dunia. Kuhabiskan waktu berjam-jam hanya untuk menonton.

Nadia, kau punya seorang ibu, tempatmu berbakti.
Kau punya dua orang adik, yang harus kau urus dan sayangi.

Aku melupakan semua itu! Aku lupa dan mengabaikan mereka, keluargaku. Bagaimana bisa aku menjadi wanita yang baik sementara untuk menjadi anak saja aku tak punya budi? Bagaimana bisa aku menjadi ibu yang baik sementara untuk menyayangi adik saja aku tak mampu? Batinku meneriaki dan memakiku. 

Aku tersadar dari lamunanku, dan lantunan itu masih kudengar. Jauh di lubuk hatiku, aku memimpikan imam yang seperti ini. Mampu memberti ketenangan hanya dengan berada di dekatnya. Aku tahu, aku tak pantas. Namun secuil harapan masih membayangi angan. Aku harus menjadi wanita yang baik agar kelak disandingkan dengan iman yang juga baik. Ya Allah, pantaskanlah diriku mendapatkan seseorang yang seperti itu. Aku akan belajar lagi. 

Aku berdiri, beranjak meninggalkan mushalla. Lantunan itu masih menggema. Aku enggan, namun aku harus segera bertindak. Terimakasih, seseorang di balik sana! Kau telah mengajariku banyak hal tanpa kau sadari. Semoga kau selalu bahagia dan dikelilingi oleh kebaikan. Aku tak tahu siapa dia, yang kutahu, dia adalah guruku hari ini. Terimakasih. :)

Aku akan berjuang. Kau juga, ya. Ganbatte kudasai!

Komentar

Postingan Populer