Cinta Semu


Aku menahan nafas. Aku yakin, ia akan melontarkan pertanyaan yang sama dengan hari-hari sebelumnya. Kupandangi wanita itu. Ia terpaku lama menatapku hingga sebuah pertanyaan terucap dari balik bibirnya. 

Hanum, apakah pantas bagi seorang gadis berkerudung merah sepertiku bersanding dengan lelaki bersepeda merah itu?

Aku tersenyum getir mendapati pertanyaan yang di luar perkiraanku. Pertanyaan itu membuat lidahku kelu, tak tahu harus bagaimana dan menjawab apa. Lihatlah, pertanyaan ini muncul dari seorang muslimah hebat, yang aku pun tak tahu dimana letak kurangnya. Zakia, seseorang yang menjadi sahabatku selama dua belas tahun tak biasanya seperti ini. Ada apa gerangan? Inilah yang kupikirkan saat ia bertanya hal itu untuk pertama kalinya. Tidak, untuk kali ini. Pertanyaan ini telah untuk sekian kalinya selama dua tahun belakangan ini. Sesuatu yang kelihatannya biasa, namun sebenarnya tersimpan nestapa yang dalam.

Hanum, mengapa kau diam? Jawab ketika orang bertanya.

Aku menelan ludah. Apa yang harus kukatakan? Jawaban apa yang ia inginkan? Kebenaran atau kepalsuan. Aku tak boleh bohong. Ini akan menyakitinya lebih jauh. Seraya mengucapkan bismillah, aku akhirnya mencoba mengutarakan jawaban yang ia minta. Jawaban tanpa ada dusta di dalamnya.

Zakia, apa kau tahu, pertanyaanmu sungguh menggelikan. Zakia, sadarlah. Warna yang sama tidak mengisyaratkan apapun. Perjumpaanmu yang berkelanjutan dengannya tentu karena izin dari Allah. Namun apakah kau yakin ia jodohmu? Selama ini, kau terus mencintainya dalam diam. Aku tahu, kau benar-benar mendambakan lelaki itu agar kelak menjadi imammu. Namun sekali lagi, apakah kau yakin?

Zakia tertunduk. Aku tahu ia sedang memaki kesalahan terbesarnya. Menanam benih, pelan dan pasti, hingga sekarang benih itu menjadi pohon yang begitu besar, memiliki akar yang kokoh. Cinta itu sekarang tak mampu lagi direnggut dari hatinya. Cintanya begitu besar, bagaimana bisa?

Zakia, lelaki yang kita kagumi itu telah menjadi milik orang lain. Sadarlah. Kau melihat sendiri undangan yang ia kirim. Ada namanya, juga nama mempelai wanitanya. Berhentilah mengharapkannya!

Akhirnya, kata-kata itu terucap. Ya Allah, ampuni hamba-Mu yang begitu tega melontarkan kata-kata mematikan ini. Aku hanya ingin wanita di hadapanku ini bahagia, dengan cintanya yang baru dan penuh ketulusan. Zakia, wanita ini dibunuh oleh perasaannya sendiri. Tiga tahun penantian, berakhir dengan kesia-siaan. Lelaki itu tak pernah datang menjemputnya dengan rombongan keluarganya. Pinangan, hanya mimpi yang Zakia ciptakan untuk mengobati hatinya yang luka.

Hanum, aku tahu. Aku tahu semua itu! Jangan kau peringatkan aku, karena aku masih waras, Hanum! Ini bukan salahku. Dari sekian banyak laki-laki, bukan keinginanku memilihnya. Tidak, sama sekali tidak. Bukan aku juga yang mengatur pertemuan dengannya hingga tiap hari kami nyaris berjumpa. Bukan. Kau tahu, semua kebetulan itu nyaris membuatku gila. Berjumpa dan menahan semua gejolak perasaanku, itu bukan hal yang mudah. Aku bahkan menghindarinya, namun perasaan ini tetap sama. Apa lagi yang harus kulakukan?

Aku terdiam. Aku tak mampu menangkis pertanyaannya. Zakia, wanita yang cerdas dengan segala retorikanya. Tak pernah aku berhasil mematahkan argumennya. Zakia, betapa keras kepalanya dirimu.

Kenapa kau diam, Hanum. Mana tanganmu yang biasa kau ulurkan padaku? Kau tak mampu membantuku, bukan? Sudahlah. Aku tak lagi tak berdaya. Aku lelah, kumohon tinggalkan aku, Hanum.

Seperti biasanya, ia memintaku pergi. Bukan sekali saja, melainkan setiap kali aku mengunjunginya. Diawali pertanyaan yang sama olehnya dan selalu saja diakhiri oleh permintaannya agar aku meninggalkannya sendiri. Apa lagi yang bisa kulakukan untuknya? Cintanya masih sama dan tak akan berubah selamanya, kurasa. Bagaimana mengikis batu cadas ini agar luluh?

Lelaki bersepeda merah ini, adalah gurauan yang ia lontarkan padaku saat menatap lelaki itu secara tak sengaja. Seperti namanya, ia begitu sederhana dengan sepeda merahnya. Tak pernah tersenyum ia pada wanita manapun. Senyumnya terlampau mahal dinikmati oleh wanita-wanita dunia. Bukan fisik yang mengalihkan dunia Zakia. Lelaki itu kurasa tak tampan, namun mendamaikan jika dipandang. Akan kubocorkan sedikit mengapa lelaki ini begitu berbekas di hatinya Zakia.

Tiga tahun lalu. Sore itu, kami baru selesai berbelanja di pasar. Cuaca yang mendung, tak lantas membuat kami membawa payung. Tetesan hujan sedikit demi sedikit semakin lebat menyiramiku dan Zakia. Sontak, kami berlari mencari tempat berteduh. Ada mushalla tak jauh dari tempat kami berdiri di awal. Kami tertawa, betapa menyenangkannya mandi hujan di usia yang memasuki gerbang dua puluh tiga tahun ini. Tiba-tiba, azan berkumandang. Begitu syahdu lagi takzim. Benar-benar menggetarkan hati kami memasuki ruangan mushalla itu. Setelah mengambil wudhu, kami shalat berjamaah mengikuti takbir imam. Damai sekali perasaanku, kurasa Zakia juga demikian. Kami lebiih banyak diam, asyik dengan pikiran masing-masing.

Waktu sudah menunjukkan pukul 16.55 WIB. Aku dan Zakia harus pulang sebelum kemalaman. Inilah pertama kalinya aku bertemu langsung dengan lelaki bersepeda merah itu. Tidak, bertemu bukan kata yang tepat. Berpapasan, ya kami berpapasan dengannya. Sekilas, ia sempat menoleh padaku dan Zakia sampai akhirnya ia memalingkan wajahnya. Seperti biasa, tanpa senyuman.

Ini merupakan awal mula pertemuan Zakia dengan lelaki itu. Aku akan selalu menjadi saksi bisunya sampai kapan pun. Zakia, ia akan selalu mencintai lelaki itu. Lelaki yang istimewa karena bedanya dengan lelaki kebanyakan. Lelaki yang berhasil menarik ulur hati Zakia, si muslimah cantik lagi pintar. Bagaimana mungkin ia akan melupakan lelaki itu jika tiap minggu mengikuti pengajian yang sama? Bagaimana mungkin ia mampu melepas lelaki itu dari bayangannya jika mereka tetap bekerja di bawah instansi yang sama?

Aku menatap kaca jendela yang dibasahi hujan. Aku ingat benar bagaimana pertemuan pertama itu menghujam hati dan pikiran Zakia. Usianya sudah menginjak dua puluh enam tahun sekarang. Sudah saatnya ia berhenti memikirkan lelaki itu dan memulai hidupnya yang baru. Lelaki itu telah menikah, dua tahun silam dengan seseorang yang tidak lain adalah adik kelasnya. Tentu saja, tanpa pacaran seperti yang kuterka. Kebahagiaan lelaki itu justru menjadi petaka bagi kawan baikku, Zakia. Ia terus mengurung diri di kamarnya sepulang kerja. Tetap bicara, namun lebih banyak diamnya. Aku tak tahu lagi harus berbuat apa untuknya. Bahkan saat aku memceritakan hal ini padamu, aku telah menikah dan dikaruniai satu orang anak. Imamku, seorang lelaki yang kuhargai dan baru mampu kucintai setelah menikah. Kasihnya begitu mendamaikan dan perkataannya amat menyejukkan.

Yah, seperti yang kukatakan. Zakia masih butuh waktu untuk menata hatinya. Aku tak dapat berbuat banyak, namun aku akan memberikan sepotong nasehat untukmu, kawan.

"Jangan menempatkan cinta begitu dalam pada mereka yang belum tentu jodohmu. Kedalaman cinta membuatmu tersiksa. Semakin kau hapus, semakin jelas ia terukir. Sukalah sekedarnya, bencilah sekedarnya. Kuharap, kau tidak menjadi Zakia-zakia lainnya yang nestapa akan cinta semunya. Cintailah mereka yang telah sah menjadi imammu. Tanpa cinta, tak masalah jika kau mampu menghargainya. Cinta itu tumbuh, bukan jatuh. Itulah cinta yang sejati".

Aku meninggalkan rumah itu. Besok-besok, aku akan kembali mengunjungi Zakia, berharap sesuatu yang ajaib terjadi dan membuatnya kembali ceria. Jangan seperti Zakia kawan. Mereguk nestapa tanpa kenal lelah. Doakan dia, agar kembali menjadi Zakia yang dulu. Hanya dengan berdamai, ia mampu bangkit. Zakia, kuatlah.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer