Khitbah
Dalam perjalanan hidupnya, seorang manusia tak mampu menolak goresan takdir Ilahi. Sekuat apapun ia teriak, memberontak, lari dari kenyataan, takdir jua yang akan menuntunnya. Hei, ini bukan berarti manusia tak diberi kebebasan memilih. Pilihan itu ada, dan ingat, setiap pilihan yang kau ambil akan mengantarmu pada ending yang berbeda. Hanya saja, ada ketetapan Ilahi yang memang tak dapat diubah apalagi dirombak. Dapatkah kau mempercepat hari kelahiran, menunda ajal, dari keluarga mana kau akan lahir? Tidak. Ya, inilah maksudku. Tangan manusia tak mampu mengubah segalanya. Kemampuan kita terbatas. Ini adalah satu dari sekian banyak cerita yang benar-benar terjadi. Bukan dalam hidupku, namun dalam hidupnya. Bacalah, semoga berkah.
Namanya Hanum. Aku mengenalnya
sebaik aku mengenal diriku sendiri. Hanum amat menyukai warna biru muda, seolah
dengan pancaran warnanya saja, hidupnya menjadi lebih damai. Untuk anak
seusianya, Hanum tinggi semampai, lebih kurang 160 cm. Bola matanya sipit
sehingga ketawa sebentar saja membuat bola matanya benar-benar tak terlihat.
Hidungnya cukup mancung, bibirnya tipis seulas. Wajahnya memancarkan keteduhan
yang jarang kujumpai. Benar-benar keibuan. Aku menyukainya dan akan selalu
menyayanginya. Hanum selalu menjadi pendengar yang baik. Hanya saja, ada satu
hal yang kuherankan. Hari itu, Hanum tak seperti biasanya. Lebih banyak melamun
dan sering tersenyum sendiri. Aku heran, sehingga aku menanyakan apa
masalahnya. Inilah pertanyaan yang menjadi ujung pangkal masalah ini bermula.
Hanum dikhitbah seseorang.
Ya, usianya memang sudah
menginjak dua puluh satu tahun. Bagi orang lain, dikhitbah pada usia itu bukan
lagi hal yang aneh. Lebih dari kata wajar. Namun bagiku, yang menjadi
sahabatnya semenjak duduk di bangku SD hingga hari ini sama-sama menjadi
mahasiswa tingkat akhir, ibarat petir di siang hari. Tak masuk akal, bagaimana
mungkin?
Aku menahan ledakan rasa tak
percayaku. Membiarkannya cerita tanpa sela. Mendengarkannya dengan debaran hati
yang tak menentu.
“Zaara. Kamu tak usah sekaget
itu. Aku berusaha memendam, namun tak mungkin aku menyembunyikan hal besar ini
dari kamu, Ra. Kamu harus tahu, karena kamu adalah Zaara, teman baik aku.”
Hanum berdehem, kemudian memulai
ceritanya.
“Hari itu, aku sedang buka facebook. Ada tiga pemberitahuan masuk,
salah satunya permintaan pertemanan dari dia. Tanpa pikir panjang, aku langsung
konfirmasi. Dia kakak tingkat kita di SMA, dua tahun lebih tua. Kamu pasti
kenal orangnya. Namanya Albi. Dia yang
mengkhitbahku tiga hari yang lalu.”
Aku terdiam sesaat mendengar nama
yang disebutkan Hanum. Blank. Aku mencoba mengingat lagi dengan saksama. Muncul
dalam benakku bayangan seorang lelaki dengan perawakan sedang. Orangnya ramah
dan terbuka. Pernah sekali dua kali bertatap muka dalam kepanitiaan yang sama,
membuatku cukup mengenal baik orang itu. Tapi, bagaimana bisa dia mengenal
Hanum? Aku masih tak percaya. Aku tahu betul watak Hanum yang anti terlibat
dalam segala bentuk kepanitiaan dan organisasi.
Hanum tersenyum geli mengamati
ekspresiku. “Ra, ceritanya baru akan dimulai lho. Ekspresimu jangan
segitunyalah. Biasa aja, Ra.”
Aku segera membenahi ekspresiku
dan memasang wajah setenang mungkin walau sulitnya itu minta ampun.
“Ra,
namanya Albi. Aku yakin kamu mengenalnya dengan baik. Pertanyaannya adalah
mengapa ia dapat mengenaliku? Hari itu, adalah hari pertama kita mendaftar
masuk SMA. Kamu masih ingat, kita hujan-hujanan pulang dan pada akhirnya
memutuskan berteduh di mushalla dekat persimpangan itu?”
Aku mengangguk. Masih terekam
jelas dalam ingatanku kejadian tempo itu. Kupandangi Hanum, matanya menerawang
jauh, mereka cerita di masa lalu.
“Hari itu, kamu memutuskan pergi
lebih awal, Ra. Kamu harus les dan waktu udah mendekati pukul 16.00 WIB.
Selepas shalat, kamu buru-buru pergi menembus hujan. Aku? Aku masih di mushalla
itu. Menanti hujan reda sembari merangkai kata menjadi cerita. Saat itulah
seseorang itu melihatku. Melihatku yang tengah asyik menulis tanpa mempedulikan
sekitar di serambi mushalla. Dia melihatku, dan disaat itu sebuah getaran
mengisi hatinya. Aku pun tak tahu alasannya kenapa. Saat melihatku lagi secara
tak kebetulan di acara kampus, getaran yang dulu kembali mengisi hatinya.
Itulah alasan ia mencari tahu namaku di media social Ia yakin dengan
keputusannya. Hanya itu yang sempat ia utarakan padaku,Ra. ”
Aku menatap Hanum kembali. Hanum,
apakah kau juga sudah mengenalnya jauh hari? Tanyaku.
“Siapa yang tak mengenalinya, Ra. Siswa dengan indeks prestasi bagus dan sering mewakili sekolah dalam ajang lomba, siapa yang tak kenal, Ra. Anti-anti gini, aku juga mengikuti perkembangan kok,” bantahnya.
“Siapa yang tak mengenalinya, Ra. Siswa dengan indeks prestasi bagus dan sering mewakili sekolah dalam ajang lomba, siapa yang tak kenal, Ra. Anti-anti gini, aku juga mengikuti perkembangan kok,” bantahnya.
“Tapi, ya hanya begitu. Hanya
kenal nama dan prestasinya. Lebih dari itu, aku benar-benar tak tahu. Kau tahu,
diantara tiga pemberitahuan itu, juga ada sebuah pesan masuk di inboxku. Itu
darinya, permintaan khitbah darinya. Aku terperanjat. Syok. Tak tahu harus
menjawab apa. Saat kusampaikan pada Ibu, Ibu memintaku mempertimbangkanny
selama tiga hari. Ibuku tak pernah menganggap apapun dengan remeh. Bahkan saat
membaca pesan itu, Ibu tersentak sambil mengurut dada. Sama sepertiku, tak
percaya sama sekali. Namun Ibu meyakinkanku, bahwa dalam hal seperti itu,
siapapun tak akan berani bermain-main.’
Aku menunduk takzim. Membenarkan
semua tindakannya. Hingga pada akhirnya, aku tak kuasa menahan lagi. Jadi, apa
keputusanmu, Hanum?
“Setelah mencari tahu bagaimana
orangnya dari beberapa kenalan yang kupercaya, ditambah shalat istiqarah serta
mendengar masukan dari keluarga, akhirnya aku menerimanya, Ra. Aku menerimanya
dengan hati yang lapang. Akad nikah inshaa Allah dua minggu lagi, dan kamu
adalah orang pertama yang kuberitahu. Doakan aku, ya Ra.. “
Aku mengangguk mantap, menepuk
pundaknya, dan memeluknya. Sahabat yang paling kusayangi ini akhirnya menemukan
tempatnya melabuhkan hati. Sekian tahun kami habiskan bersama, namun tak sekali
pun Hanum pernah menyebutkan nama lelaki itu. Sama sekali tak pernah menjadi
objek pembicaraan dan obrolan ringan kami. Ya Allah. Hari ini aku kembali
menghela nafas atas keajaiban baru yang kau tampakkan. Dunia mereka berbeda,
tak pernah bersentuhan satu sama lain. Namun, jika Allah berkata itu jodohmu,
maka dipertemukanlah mereka. Hal ini berlaku sebaliknya. Sedekat apa pun
mereka, jika bukan jodoh, maka ada saja alasan yang memisahkan mereka. Hari
ini, aku percaya itu.
Hanum, aku kenal baik wanita ini.
Wanita yang berpegang teguh dengan prinsip agamanya. Tak pernah ia mengenal
kata pacaran. Kalaupun suka, maka ia memendamnya rapat-rapat. Membiarkan hanya
Tuhan dan aku yang tahu. Kini, ia dipertemukan dengan seseorang melalui cara
yang begitu indah. Sungguh saat ini aku iri padamu, Hanum. Selamat, ya sayang.
Semoga impianmu menata rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warohmah segera
terwujud. Aku turut bahagia, Hanum.
Komentar
Posting Komentar