Nikah Muda, Siapa Takut?

Puasa hari keempat. Hari ini aku membaca sebuah buku karangan Ahmad Rifa’i Rif’an yang berjudul, “Nikah Muda, Siapa Takut?”. Buku ini kubeli pas belanja ke pasar bareng Mama. Saat bayar, abang kasirnya malah mengulum senyum menatap judul buku yang menjadi pilihanku. Ya Allah, malunya minta ampun. Hanya saja, ekspresi tetap menentukan segalanya. Aku tersenyum datar tanpa perasaan bersalah. Dasar, Nadia. 

Malamnya, segera kubabat bacaan itu halaman demi halaman, tanpa jeda. Tiga jam, buku setebal tiga ratus halaman itu akhirnya selesai kubaca. Menghela nafas adalah alternatif yang menjadi pilihanku. Bacaan ini amat mudah dipahami oleh orang awam sepertiku. Konsepnya sederhana dan lugas, hanya saja, praktiknya itu amat berat kurasa. 

Ada sesuatu yang harus disiapkan sebelum menikah, yaitu komitmen. Nikah muda membutuhkan komitmen yang besar. Sebagian orang menilai menikah di usia muda itu bisa dibilang nekat. Penghasilan belum tetap, studi masih berjalan, terlebih lagi belum punya tabungan yang cukup untuk membina sebuah rumah tangga. Dulunya, aku pun berpikiran demikian. Namun buku ini berhasil mengubah pola pikirku. Menikah berarti menggenapkan separuh agama. Jika sekarang saat single kamu belum mapan, maka setelah menikah Allah akan memapankanmu. Tentunya berikhtiar terlebih dahulu baru deh tawakal. 

Mereka yang menunggu segalanya mapan baru menikah, tentunya akan kehilangan momen menarik “merasakan jatuh bangun bersama”. Bukankah menyenangkan memulai segalanya bersama dari nol? Tinggal di rumah kontrakan sederhana, berkendara bersama dengan motor butut, hingga pada akhirnya kita dianugrahi rumah sendiri. Disini, kita dapat melihat betapa indah sensasi yang akan dirasa. Kesetiaan wanita diuji saat kekurangan, sedangkan kesetiaan seorang lelaki adalah saat keberlimpahannya. Saat menjalani dinamika kehidupan itu bersama, tentunya perekat diantara keduanya semakin kuat dibanding mereka yang hanya bersama saat jayanya saja. 

Saat datang beberapa lelaki menyampaikan niatnya padamu wanita, maka pilihlah mereka yang baik akhlak dan agamanya. Itu lebih dari cukup. Ia akan membahagiakanmu dan saat sulit ia tak akan menyakitimu. Lelaki yang baik mampu menjadi nahkoda dalam mahligai rumah tangga. Tanggung jawabnya besar, apakah ia mampu menafkahi istri, membimbing, dan membina rumah tangga yang samara. Mereka yang serius tak akan membual cinta di hadapanmu, melainkan menyampaikan komitmennya langsung di hadapan ayahmu. 

Pertanyaannya, mengapa harus di usia muda? Menikah muda punya sensasi tersendiri. Saat kau menikah usia 20-an, maka bisa jadi banyak gejolak yang akan terjadi terlebih lagi mengingat usia yang tergolong labil. Banyak momen yang akan dilewati bersama pasangan seperti marahan, egois, tak mau kalah, dan sebagainya yang jarang ditemui pada pasangan yang menikah di usia 30-an. Selain itu, usia ini lebih produktif. Saat anak tamat kuliah, kita menghadiri wisuda sang anak pada usia 40-an, relatif muda gitu. Intinya, semakin cepat nikah maka semakin cepat hal yang dinanti terlaksana. 

Saat membaca buku ini, terbesit keinginan untuk melakukan hal yang sama. Biarlah menanti, hingga seseorang yang ditakdirkan mendatangi walimu. Selama penantian itu, saatnya terus berupaya membaikkan diri, membenahi kekurangan, dan memantapkan persiapan.  

Ya Allah, pertemukanlah aku dengan dia yang baik agama lagi akhlaknya, yang menyayangi Mama dan adik-adik layaknya keluarga sendiri. Berkahilah penantian ini, ya Rabb. Aamiin.

Komentar

  1. Balasan
    1. amiin ya Rabb,
      Nikah muda ?? aku takut,
      takut belum matang,baik dari segii materil maupun non materil, krna wktuku msih belum cukup brsma bpk ibuku, bolehkan sprti it nad ? ☺

      Hapus
  2. eh bener lho, nikah muda emang punya banyak sensasi
    salah satu contohnya adalah asyiknya bermesraan dengan seseorang yang sudah halal, coba deh kalau ga percaya :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer