Angin pun Angkat Bicara


Senin, pukul 22.46 WIB. Langit berawan. Bintang tak kunjung menampakkan jati dirinya. Ada apa gerangan? Mungkinkah sesuatu tengah terjadi? Ini hanya sebuah cerita, namun percayalah, cerita ini akan menuntunmu pada sebuah makna terpendam. Sempatkanlah membaca barang sebentar, lalu temukan sesuatu yang membuat hatimu tergetar. Semoga bermanfaat. 

Aku adalah angin. Berhembus tanpa dipinta, namun aku mengenal sebuah tujuan. Aku ada dimana orang membutuhkanku. Bahkan, saat mereka melupakanku, aku masih berhembus diantara mereka. Aku adalah saksi bisu dari semua cerita itu. Aku tak bisa membantumu, namun paling tidak dengarkankah kalimatku. Sebab, hanya itu yang dapat kulakukan. Aku punya banyak tugas dari Tuhanku. Membantumu, di luar batas kemampuanku.

Hari itu, aku berkelana ke suatu tempat. Tentu saja atas dasar perintah Tuhanku. Banyak anak muda lalu lalang dengan ransel di pundak. Buku-buku tebal mengisi kedua tangan mereka. Tampak olehku, mereka sibuk dengan urusan masing-masing. Seperti biasa, tak ada yang menyadari keberadaanku. Akulah angin, makhluk Tuhan yang terlupakan. Tiba-tiba, pandanganku tertuju pada seorang wanita. Ia mengenakan gamis berwarna krem. Jilbab lebarnya tampak serasi dengan gaun yang dikenakannya, berwarna coklat gelap. Pancaran wajahnya mendamaikan. Matanya menyiratkan ketegasan, dan bibirnya selalu dihiasi senyuman. Setiap orang yang ia temui, ia sapa dengan ramah. Begitu banyak manusia di tempat itu, namun entah kenapa aku penasaran dengan wanita yang satu ini. 

Aku terus menyusuri kemana ia melangkah. Ia berjalan seorang diri menuju sebuah taman yang tak jauh dari tempat itu. Ia duduk pada salah satu bangku dan membuka sebuah buku kecil berwarna merah jambu. Selama beberapa waktu, ia terpaku pada buku itu. Tak lama kemudian, ia terisak. Apa yang sedang ia baca? Aku mendekatinya secara perlahan dan mengintip tulisan di dalamnya.
“Bagaimana bisa seorang pemuda terpaku hatinya pada seorang wanita, namun ia tak kunjung bisa mengungkapkan? Hanya bisa memendam dan mendengar kabarnya diam-diam. Tak berhak, sama sekali tak berhak. Memikirkan saja belum haknya, apa lagi mengungkapkan. Siapa yang patut disalahkan? Senyuman itu, jangan lagi. Itu akan mengusik kedekatan mereka dengan Tuhannya. Jangan usik hati mereka dengan sikapmu. Bukan hakmu! Sama sekali bukan! Ini sebuah kesalahan. “

Demikianlah kalimat yang tertera di dalam buku itu. Namun, mengapa ia menangis? Apakah ini yang dimaksud manusia dengan ‘jatuh hati’? Wanita yang lima menit lalu masih sempat tersenyum, kini malah dipenuhi derai air mata. Apa yang salah? Mengapa ‘jatuh hati’ begitu menyiksanya?
Aku sudah lama tinggal di bumi. Manusia yang hadir kian berganti. Problema yang mereka hadapi bergilir. Namun masalah perasaan selalu saja menarik perhatian. Di zaman mana pun, cinta selalu menghadirkan masalah pada pemilik hati. Bukankah cinta seharusnya mendamaikan? Mengapa malah mendatangkan masalah? 

Wanita itu menutup buku merah jambunya. Ia hapus air mata yang membasahi kelopak matanya. Ia kembali tersenyum dan bergegas meninggalkan tempat itu. Aku tak bisa membiarkannya. Aku harus tahu apa yang akan ia lakukan. Tuhan, izinkan aku sekedar melihatnya. Paling tidak apa yang kulihat memberiku sebuah pelajaran seputar hidup manusia. Sebentar saja, Tuhan.

Wanita itu berjalan tergesa. Ia menghampiri sebuah mushalla dan masuk ke dalamnya. Ternyata ia menunaikan shalat dua rakaat. Shalat dhuha. Dalam sujudnya, ia kembali terisak. Bibirnya lirih membisikkan bacaan shalat. Mengapa ia menangis lagi? Kuatlah hai wanita. Mengapa engkau menangis hanya karena perkara hati? Kuatlah wanita. Aku meneriakkan kalimat itu berkali-kali. Seperti dugaanku, ia sama sekali tak mendengarkan. Tuhan hanya mengizinkanku melihat. Benar, ini bukan duniaku. Aku tak boleh mencampuri urusan mereka. Tak lama kemudian, datang seorang wanita mendekatinya. Umurnya tak jauh beda. Dari nada bicaranya, aku segera menyadari bahwa mereka ini dekat. Wanita yang terisak tadi semakin menjadi saat temannya mendekapnya. Aku masih tak mengerti apa yang sedang terjadi.

Temannya menepuk pundak wanita itu, sembari menguatkan.
“Naura, jangan seperti ini. Masalah bukan untuk ditangisi, melainkan untuk dibenahi. Secepatnya, semampumu. Bangkitlah, Naura. Benahi kesalahanmu. Jangan usik hati mereka dengan sikapmu.

Naura, ternyata itu adalah namanya. Amat indah kedengarannya. Apa angin hanyalah angin tanpa sebuah nama? Aku juga ingin sebuah nama. Kalau pun ada, tak seorang pun akan memanggilku, bukan? Aku, hanyalah makhluk Tuhan yang terlupakan. Biarlah, tanpa sebuah nama, aku masih bisa berguna untuk Tuhanku.

Wanita yang baru kuketahui bernama Naura itu bangkit dari duduknya. Ia kembali tersenyum dan mengangguk setelah mendengar nasehat temannya. Apa yang akan ia lakukan? Aku masih belum mengerti!

Naura berjalan memasuki ruang kampus. Kali ini, lembutnya menjelma menjadi ketegasan. Ia hanya mengangguk ramah pada adik-adiknya, namun saat berlalu di hadapan beberapa pemuda, ia tundukkan wajahnya. Tanpa menyunggingkan senyum sedikit pun. Ia berlalu begitu saja. Kenapa sikapnya mendadak dingin? Apa yang ia pikirkan?

Temannya menepuk pundaknya seraya tersenyum. Naura, yakinlah ini hal yang benar. Selagi benar, apa yang perlu kau risaukan?

Naura tersenyum. “Sudah lama aku ingin bertindak seperti ini, sahabatku. Namun, omongan orang selalu aku dengarkan. Pendapat mereka, selalu aku turuti. Aku tak berani. Itu kesalahan terbesarku. Aku akhirnya tahu, senyum tak boleh dilemparkan pada sembarang orang. Kejadian dua hari lalu akhirnya menyadarkanku. Senyuman itu mengusik hati mereka, membuat mereka kehilangan ketenteraman. Beruntung bagi mereka yang masih bisa menjaga hati, bagi mereka yang tidak? Apa jadinya jika mereka salah artikan senyuman itu. Apa dampaknya terhadap diri kita. Siapa yang salah? Kitalah yang tak bisa menjaga. “

Angin berlalu. Ia sudah dapat menyimpulkan apa yang tengah terjadi. Tak ada gunanya lagi ia disini. Lagipula, ia telah belajar sesuatu dari kejadian ini. Ternyata bukan masalah hati seperti yang ia duga. Lebih dari itu, ini masalah menjaga hati. Jadi manusia itu berat. Banyak sikap yang harus mereka jaga dan perhatikan. Masih beruntung dirinya tak perlu memikirkan hal seperti itu. Ia hanya perlu fokus pada perintah Tuhannya. Namun manusia yang kian berganti, dengan sejuta problema yang menanti, tentulah berat. Tuhan, untunglah aku jadi angin. Bukan manusia, tutupnya. Kemudian, ia berlalu dan menghilang.

Sahabat, latar belakang saya menuliskan masalah ini sebenarnya berkaitan dengan cerita beberapa pemuda yang mengeluhkan sikap akhwat yang kadang eksklusif. Tak menatap lawan bicara adalah kebiasaannya, menghindari perjumpaan adalah caranya untuk menjaga hati. Bukan hanya hati mereka, namun juga hatimu. Saat seorang wanita bicara tak menatap langsung padamu, jangan salahkan mereka. Mereka hanya ingin menjaga hatinya dan hatimu agar tak terusik. Bukankah Islam memisahkan antara pemuda dan wanita dengan hijab? Semua itu bukan tanpa alasan, melainkan ada landasan.

Mereka menunduk bukan karena mereka tak menghargaimu. Bukankah fakta ilmiah mengungkapkan jika seorang laki-laki berinteraksi social dengan wanita, maka hal ini akan menyebabkan naiknya suhu tubuh sehingga menyebabkan ketidakstabilan? Inilah mengapa di dunia pesantren, laki-laki dengan wanita dipisahkan. Agar tenteram hatinya, agar jernih pikirannya, dan agar fokus ia pada tujuannya.

Satu hal lagi yang perlu disampaikan dalam tulisan ini. Alasan mengapa sebagian wanita memilih mengenakan pakaian longgar dan jilbab yang lebar. Beberapa pemuda menyampaikan langsung pada saya bahwa hal seperti ini sedikit berlebihan. Bukankah jilbab itu cukup menutup dada? Mengapa harus sedemikian lebar?

Ini rahasianya. Alasan mereka berpakaian seperti itu sama sekali untuk bersikap eksklusif. Sama sekali tidak. Apakah mereka salah menginginkan kedamaian? Dengan pakaian seperti inilah mereka merasa tenang dan damai. Pakaian ini mewakili jati diri mereka. Siapa bilang semakin dalam jilbabnya maka semakin dalam pemahamannya? Tidak. Namun salahkah jika mereka ingin membaikkan sedikit dirinya dengan penampilan seperti ini? Mereka hanya ingin membaikkan dirinya, berharap jika mereka melakukan kesalahan dan menatap cermin, jilbab itu menegurnya. Apa pantas kamu bersikap seperti itu dengan jilbab terulur ini. Secara tidak langsung, jilbab menjadi pengawas mereka setiap mengambil tindakan.

Ada juga yang bilang bahwa mereka yang berjilbab lebar itu kalem, sulit bergaul. Sebenarnya, itu tergantung kepribadian masing-masing. Usahakan jangan men-judge terlebih dahulu. Yuk, positive thinking. Fitrahnya wanita ingin berteman dengan siapa saja, namun tentu hanya membuka rahasia mereka dengan teman dekatnya. Wanita adalah tipe orang yang amat memercayai sahabat terdekatnya. Untuk orang terdekat, tak ada rahasia. Begitulah wanita pada umumnya.

Nah, inilah alasannya sahabat. Terima kasih atas semua pendapatmu. Terkuak kan, semua rahasianya? Terima kasih untuk beberapa orang yang bersedia bertukar pikiran. Senang rasanya bisa memahami jalan pikir mereka, juga terima kasih sudah mendengarkan dengan sabar semua celotehan saya. Islam bukan agama eksklusif. Islam itu inklusif! Semoga tulisan ini bermanfaat.

Komentar

  1. Begitu indah tulisan ini. Engkau membungkusnya dalam kemasan yang sangat indah Sobat tuaku.. :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer