Dia berbeda


Gerimis mengguyur kota Padang. Rintik hujan melantunkan melodi khasnya. Aku amat menyukai rintik hujan. Selamanya, akan selalu menentramkan. Sore itu, aku berlari kecil menapaki masjid yang berada tak jauh dari kostanku. Kulihat jam tanganku, waktu sudah menunjukkan pukul 16.55 WIB. Ya Allah, kebiasaan buruk ini selalu muncul dalam kondisi darurat. Kapan kau akan berubah wahai diri? Aku sudah terlambat dua puluh lima menit dari waktu yang ditetapkan. Berapa halaman ilmu yang terlewatkan? Berapa untai nasehat kebaikan yang tak kudengarkan? Rugi, benar-benar rugi. Kumarahi diriku habis-habisan atas perkara yang tak bisa dimaafkan ini. Kamis sore adalah jadwal rutin pengajian kampus. Dalam kegiatan tersebut akan dibahas seputar masalah pergaulan, fiqih, dan hal lain seputar wawasan agama. Pembicaranya adalah pakar yang ahli dalam bidangnya. Seharusnya, kegiatan ini sudah dimulai semenjak pukul 16.30 WIB. Ya Allah, kutepuk jidatku berkali-kali seraya menghakimi. Siapa suruh membaca novel sampai ketiduran?

Kueratkan peganganku pada payung jingga kesayanganku. Kupercepat langkahku menuju masjid Nurul Ikhlas yang berdiri kokoh diantara perumahan warga. Kampus sengaja menggelar kegiatan seperti ini di tempat lain, bukan di dalam lingkungan universitas. Berulang kali aku protes, namun kakak tingkat selalu berkata seperti ini. “Nadia, dengarkan ini. Semakin jauh kita berkelana, maka semakin nikmat ilmu itu terasa. Semakin jauh perjalanan ditempuh, ukhuwah semakin kokoh.” Kalau kakak sudah berkata demikian, aku hanya menghela nafas panjang tanpa perlawanan. Semua kata-katanya benar dan tak bisa disanggah. Hanya saja, jarak antara kostan dan masjid itu cukup jauh. Memakan waktu dua puluh menit dengan jalan kaki. Inilah indikasi keterlambatanku! Walau mencoba menyalahkan keadaan, namun aku sadar ini semua berawal dari kelalaianku. Apa salahnya berangkat lebih awal?

Lima langkah lagi. Ya, lima langkah lagi kakiku akan menginjak teras masjid itu. Aku tersenyum walau nafas sudah tersengal. Tiba-tiba, aku mendengar bunyi sepeda motor yang kian mendekat. Perlahan, suaranya makin keras sampai pada akhirnya motor itu berhenti tepat di depanku. Ingin rasanya marah, namun aku hanyalah seorang wanita tanpa kekuatan. Tak ada gunanya marah, mungkin saja ia sedang dalam tergesa-gesa mengejar keterlambatan sepertiku, batinku dalam hati. Aku terdiam di satu titik. Pandangan mataku tertuju pada sepeda motor itu. Hei, itu bukan sepeda motor seperti yang kupikirkan. Sepeda motor itu seperti becak yang dimodifikasi. Pengendara itu masih duduk di kursinya dengan nyaman. Tak lama kemudian, ia melepas helmnya. Kulihat siapa dia. Seorang pemuda berusia dua puluh tahunan kurasa. Ia tak segera beranjak dari posisi duduknya semula. Beberapa orang pemuda kemudian keluar dari masjid, berlari mendekatinya. Ada sekitar tiga orang pemuda yang datang, kemudian memapah pengendara tadi. Aku masih terdiam di tempat yang sama. Mencoba menebak apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa harus dipapah? Kalau kakinya sakit, kenapa memaksakan diri ke masjid? Tidak! Tak ada waktu memikirkan semua itu. Aku bisa terlambat! Aku pun bergegas memasuki masjid.
 
Sesampainya di dalam masjid, kupandangi saf-saf terdepan sudah dipenuhi oleh muslimah yang berdatangan dari berbegai fakultas. Seperti biasa, aku mengisi saf paling belakang. Ya Allah, setiap hari aku bertingkah, kapan aku bisa berubah? Aku masih mengomel dalam hati. Ceramah agama? Anehnya belum dimulai. Kutanya kakak-kakak yang duduk di sampingku, “Kenapa ceramahnya belum dimulai kak?” tanyaku heran. “Pematerinya belum datang, dik. Sabar, ya.” , jawab beliau sambil tersenyum. Aku menghela nafas panjang. Syukurlah, aku belum ketinggalan apapun.

Tak berapa lama kemudian, hijab yang menjadi tabir pemisah antara laki-laki dan perempuan disibak di bagian tengahnya, membiarkan kami bisa menatap mimik wajah dan gestur pemateri dengan jelas. Siapa pematerinya? Ternyata si pengendara bermotor tadi. Ya Rabb, aku menatap tak percaya. 

‘Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh. Saya minta maaf atas keterlambatan saya hari ini. Sesuatu terjadi dalam perjalanan saya kemari, namun Alhamdulillah dengan izin-Nya semua teratasi. Baik, kita mulai materi kita hari ini dengan makna syahadatain.’
Aku menyimpan banyak pertanyaan atas segala sesuatu yang terjadi hari ini. Ceramah berlangsung selama satu jam. Pembawaan beliau semangat, beliau sampaikan rentetan fakta yang terjadi dalam dunia nyata dengan menggelegar dan berkobar. Saya merinding dibuatnya. Benar-benar seorang pemuda dengan semangat dakwah yang tinggi.

Lima belas menit lagi, azan magrib akan berkumandang. Kami segera berwudhu bersiap menunaikan shalat magrib berjamaah. Setelah tunai tiga rakaat shalat magrib itu, kami bergegas pulang bersama. Kebetulan tempat tinggalku berdekatan letaknya dengan kakak-kakak yang ikut pengajian. Alhamdulillah, aku tak harus menapaki gelapnya malam seorang diri.

Saat bersiap meninggalkan teras masjid, aku melihat ‘dia’ untuk ketiga kalinya. Kembali, ia dipapah oleh beberapa orang pemuda hingga mendudukkannya ke kursi sepeda motornya. Seperti yang kubilang tadi, sepeda motornya dimodifikasi. Tempat duduknya seperti becak, dan sepeda motor itu ia jalankan dengan tuas yang tersedia tak jauh dari kursinya berada. Seperti sebelumnya, aku mempertanyakan hal yang sama. Mengapa ia harus dipapah?

Baru saja melintas pertanyaan itu di benakku, aku menyadari sesuatu. Ia berbeda. Pengendara itu berbeda dengan kebanyakan orang. Sesuatu terjadi pada kakinya. Mengapa kaki kanannya lebih pendek dari kaki kirinya? Kaki kanannya diamputasi. Apa yang terjadi? Sampai di rumah, pertanyaan itu masih memenuhi pikiranku.

Dua hari kemudian, aku menemukan jawaban dari pertanyaan itu. Ia terlahir sempurna. Namun, saat menginjak bangku SMA, ia mengalami kecelakaan, ditabrak pengedara bermotor dari arah yang berlawanan. Ia terpental. Kakinya remuk, harus diamputasi. Itulah penuturan dari kakakku.

Aku masih terdiam. Mengapa seseorang yang punya kekurangan, semangatnya menggebu, daya juangnya tinggi dibandingkan mereka yang dari luar terlihat sempurna? Mengapa saat mereka yang sempurna diajak ke masjid, ribuan alasan mereka lontarkan untuk menolaknya? Mengapa yang dekat dengan-Mu adalah orang-orang yang tak sesempurna kami fisiknya, namun begitu kokoh tekadnya? Mereka bisa, mengapa kami tidak? Dia, berbeda.

Komentar

Postingan Populer