Bukannya 'Tak Ahli', Sebenarnya Saya 'Lari'!


Hari ini, saya menemui salah seorang dosen saya. Beliau bermaksud menunjukkan berapa nilai yang saya dapatkan saat Ujian Akhir Semester (UAS) dua minggu yang lalu. Seketika, hati saya berdegup kencang. Saya tatap nilai itu lekat-lekat. Berapa angka yang tertera? 70! Alhamdulillah, saya senangnya bukan main. Mata kuliah ini benar-benar angker menurut saya. Namun, saya dapat melihat dengan jelas ekspresi kecewa dari dosen saya. 

“Mengapa kamu hanya dapat angka 70? Padahal, saya berharap banyak padamu, Nadia."

Hening. Sementara waktu, hati saya berhenti berdetak. Andai beliau tau betapa mati-matiannya saya belajar, mengerjakan tugas setiap minggu, hingga persiapan yang saya lakukan menjelang H-1. Sungguh, saya tak sanggup menangkap ekspresi kecewa orang lain. Itu kelemahan saya dari dulu. Tiba-tiba, dosen saya memecah keheningan. 

“Atau jangan-jangan, cara belajarnya yang salah?” Beliau masih mencoba menerka. Saya hanya tersenyum, tak mampu menjawab apapun. “Saya memang kurang ahli dalam ilmu murni, Bu”, jawab saya jujur. “Kenapa kamu tak suka? Ingat, jurusan kamu kimia, lho.” Saya diam seribu bahasa. Menunduk dalam-dalam, itu yang saya lakukan. “Belajar lebih rajin lagi ya, Nadia.” Saya bersalaman dengan dosen saya, lalu memutuskan meninggalkan ruangan. Segumpal perasaan kecewa dan bersalah memenuhi jiwa. 

Diam-diam, hati saya berbisik. Tak mungkin kamu hebat dalam segala hal, Nadia! Mungkin kamu kacau dalam mata kuliah yang satu ini, namun belum tentu halnya dengan mata kuliah yang lain. Kefrontalan saya menjadi-jadi. Dalam perjalanan, saya membela diri habis-habisan. Eits, tunggu dulu. Saya tiba-tiba ingat tulisan Romi Satria Wahono dalam blognya romisatriawahono.net bahwa salah satu karakter inovator adalah memiliki cara pandang yang berbeda dengan orang lain. Jadi, saya juga harus seperti itu! Tiba-tiba, hati saya membisikkan hal yang berbeda. “Beliau kecewa karena berharap banyak padamu, Nadia. Beliau percaya, kamu bisa lebih dari sekarang. Bukankah semakin tinggi pengharapan, maka semakin dalam kekecewaan jika harapan itu tak kesampaian? 

Sekarang saya paham, Bu. Mengapa Ibu marah, kecewa, dan menuntut banyak hal pada saya. Itu karena ibu percaya, bahwa saya mampu lebih dari yang saya bayangkan. Mengapa nilai saya belum maksimal, ya karena upaya saya belum mencapai batas optimal! Itu letak salahnya! Bukan karena saya tak ahli, tapi karena saya lari! Ya, saya lari agar mereka semua tak tahu dimana kelemahan saya. Makanya saya mengklaim diri saya 'tak ahli', padahal sebenarnya 'saya lari!'. 

Inshaa Allah, semester ini akan menjadi ajang pembuktian, Bu. Inshaa Allah. Saya pasti bisa jika saya mencoba. Jika saya tak mampu mendobraknya sekali, maka saya harus mendobraknya berkali-kali sampai ‘pintu’ itu terbuka. Terima kasih, Bu. Ibu telah menjadi inspirasi luar biasa bagi saya. Seorang Ibu yang tetap kuat dan bisa tersenyum walau esok operasi besar menanti. Ibu yang tetap lincah menuliskan rumus-rumus organik di papan tulis walau sakit menggerogoti, menerjang tubuhnya tanpa ampun. Ibu, tetaplah sehat dan kuat. Walau sebulan lagi Ibu harus kembali, marah ibu tetap akan menjelma menjadi rindu, yang terus menggebu hingga tiba saatnya kita bertemu. Sayang Ibu, dari mahasiswa Ibu yang bodoh juga ceroboh. Mohon doanya untuk beliau, Sahabat. Beliau yang rela habis-habisan mendidik kami hingga paham, hingga lupa jam istirahat. Ya, untuk kami, yang hanya tujuh orang. Kelas kimia organik 3, benar-benar tak terlupakan!

Komentar

  1. Tulisannya ganas. Memelintir beberapa kilah-kilah dari kehidupan mahasiswa. Dimana, jika dosen berharap. Apapun itu, jika nilai kita sudah dirasa maksimal bagi kita, belum tentu mereka senang. Nah, jadinya apa? Mereka kecewa, kitanya tertekan. Lalu? Bakar saja semangatmu. Mudah bukan?

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer