Semua Tentang Papa Mama!


Malam ini, saya ditelfon Mama. Terisak, ya, saya sudah lama tak terisak. Hari ini, Tuhan kembali mengingatkan saya, bahwa kasih Mama itu sepanjang jalan. Bahwa Mama sanggup melakukan apa saja demi kebahagiaan putri kecilnya. Bahwa Mama akan habis-habisan, melakukan segala upaya, demi kamu, putri kecilnya.

Usia saya sudah menginjak dua puluh tahun, namun bagaimana pun saya tetaplah putri kecilnya Mama. Entah bagaimana pun saya mencoba bersikap dewasa, Mama tetap saja memperlakukan saya seperti anak kecil. Jika pulang ke rumah, saya biasanya melakukan banyak hal di luar koridor agar saya 'dimarahi'. Berbulan-bulan menjalani rutinitas perkuliahan di Padang membuat saya rindu marahnya Mama, ceramah Mama yang panjang lebar, atau bahkan perintah-perintah Mama yang mutlak hukumnya saya selesaikan, walau kadang terlupakan. Sungguh, saya tak sengaja!

Itulah kerinduan-kerinduan kecil yang pada akhirnya membuat saya benar-benar rindu 'semua omelan Mama'. Ah, bayangkan jika di Padang. Tak ada Mama yang memaksa tidur di malam hari, tak ada Mama yang meneriaki agar saya terjaga, tak ada yang mengingatkan 'sudah shalat, belum?', tak ada aroma menggoda yang memaksasaya mengintip apa masakan Mama di dapur.

Netbook saya rusak. Baru saja saya perbaiki hardisknya sebulan lalu. Sekarang, penyakitnya kambuh lagi. Setelah sekian lama, akhirnya saya mencoba membicarakannya dengan Mama malam ini. Saya pikir Mama akan marah, ternyata, apa yang Mama katakan?

"Kenapa rusak lagi?"
"Iya mungkin ndak bisa menjaganya dengan baik, Ma.
"Ndak iya aja. Mama ataupun aki juga kadang kayak gitu.
Saya diam...
"Diganti aja gimana ya?
"Ndak usah, Ma. Biar aja dulu..
"Kalau ada uang, kita beli nanti, ya. Kita kumpulkan uangnya,  inshaa Allah dari uang sewa rumah bulan depan bisa.. Doakan aja dulu semoga harga ayam naik ya, ya.. Agar bisa kita ambil kelebihan uangnya..
Saya diam, tetap diam, hingga pada akhirnya saya terisak.
"Istirahatlah lagi, Ma, ujarku menahan isakan.
"Ya.. 
Akhirnya Ibu memutus telfonnya.

Dari pembicaraan di atas, apakah teman-teman dapat menebak apa profesi Mama saya? Mama bukan pemilik kontrakan, juga bukan peternak ayam. Beliau adalah satu-satunya pegawai kesehatan lingkungan di Puskesmas tempatnya bekerja. Dari pagi hingga siang, beliau habiskan waktunya di tempat kerja, bahkan panas-panasan jika turun ke lapangan. Sepulangnya dari bekerja, Mama langsung menuju kandang ayam di belakang rumah bersama Bapak. Apa kata-katanya yang sangat saya ingat?

"Ya, mama ndak mungkin lagi kuliah. Banyak yang nyaranin mama kuliah supaya bisa naik pangkat. Tapi ndak mungkin kan, ya. Mama udah punya si kecil. Faris usianya baru tiga tahun. Kasian sering ditinggal. Mendingan mama beternak ayam, untungnya lumayan."

Saya terdiam. Memang saya tak setuju Mama kuliah lagi, lantaran Mama sudah sangat sibuk. Super sibuk malahan. Tapi saya benar-benar tak habis pikir Mama nekad beternak ayam bersama Bapak yang juga seorang guru. Saya ternganga, tak percaya! Namun, seperti itulah Mama saya. Mama yang tak pernah mengenal kata tidur siang, namun selalu memaksa anaknya tidur siang. Mama yang selalu saja berbohong mengatakan dirinya tak suka sesuatu, namun memberikan semuanya pada putri kecilnya ini. Sama halnya juga dengan dulu. Ya, saat Papa tiada dan Mama seolah bersikap tak terjadi apa-apa. Hebatnya Mama, saya tak pernah mendengar isakan tangisnya meratapi kepergian Papa. Tak pernah saya mendengar Mama ketakutan saat di rumah tinggal kami bertiga. Setiap malam, Mama selalu berteriak meniru suara laki-laki agar kami merasa aman. Apakah seorang Ibu selalu hebat seperti ini? Ya, pasti. Saya yakin semua Ibu seperti ini!

Sudah lama tak terisak, membuat saya rindu dengan isakan itu sendiri. Isakan dimana saya menyadari bahwa di dunia ini ada satu orang yang benar-benar menyayangi saya dan mendoakan setiap langkah saya. Andai Mama tau, betapa saya menyayangi dirinya. Amat sayang.

Terkadang, saya tak mau tumbuh dewasa, agar Mama senantiasa tetap muda. Namun, waktu tetap saja berkhianat. Ia terus berjalan. Setiap kali pulang, mengapa uban Mama terus saja bertambah? Mengapa! Mengapa keriput Mama tak urung berkurang? Mengapa Mama sekarang sering mengeluh sakit pinggang? Mama, tetaplah muda, tetaplah sehat, tetaplah kuat. Kami butuh Mama, dan selamanya butuh Mama!

Sudah dua belas tahun semenjak kepergian ayah, kita lewati semuanya bertiga. Sekarang, personilnya sudah bertambah. Ada Faris, juga Bapak. Saya menyayangi semuanya, sungguh, betapapun kakunya saya dalam bersikap, namun saya benar-benar menyayangi mereka semua.

Tuhan, apa waktu tak bisa berhenti untuk Mama saja? Biarlah saya tambah tua, asal Mama tetap muda. Sahabat, saya sudah pernah kehilangan Papa. Rasanya seperti apa? Kamu baru akan merasakannya jika telah menginjak usia dua puluh tahun. Bayangkan, kamu tak sempat menanyakan berapa IPK papamu dulu, tak sempat mendengarkan seberapa keras usahanya hingga menjadi seorang pendidik yang hebat, tak pernah tau bagaimana suka dukanya meraih mimpi, bahkan kamu tak diberi waktu untuk bertanya mengapa Papa mencintai mama, dan seberapa cintanya papa pada kami?

Tak sempat, sama sekali tak sempat. Sebab, sebelum mengenal kata IPK, mahasiswa, bahkan cinta, papa sudah dipanggil menghadap-Nya. Tumor otak menyerang jaringan saraf papa bertubi-tubi, tanpa ampun. Hingga papa yang pada mulanya riang, selalu tersenyum, menggendongku di pundak kokohnya mulai tak bisa berjalan, mulai urung bicara. Kadang, papa memaksa dirinya bicara menggunakan bahasa isyarat. Lihat itu, betapa rindunya papa mengajak anak-anaknya mengobrol, bercanda, dan tertawa bersama-sama. Apa yang bisa saya lakukan? Hanya menatap papa, lalu kembali sibuk dalam dunia saya. Lihat, betapa bodohnya saya saat itu. Mengapa saya tak mengatakan sebanyak-banyaknya bahwa saya sangat mencintainya? Betapa superheronya beliau dalam bayangan saya? Papa, seseorang yang tak pernah marah, sebanyak apapun anaknya berulah. Mengapa saya tak libur saja sekolah, kemudian menghabiskan banyak waktu bersamanya? Memeluknya dengan erat dan mengatakan betapa saya tak sanggup kehilangan dirinya. Mengapa saya tak mengatakan semua itu banyak-banyak? Mengapa saya baru tau semuanya sekarang? Mengapa?

Berkali-kali, saya mencoba berdamai dengan waktu. Mengatakan semua akan baik-baik saja jika saya bersikap baik. Ya, saya pasti akan menemuinya di syurga. Namun, sebanyak itu saya menguatkan, sebanyak itu juga saya merasa semua itu tak mungkin. Sudah sebaik apakah kita? Apakah kita sama-sama berada di syurga-Nya nanti? Kalaupun di syurga, apakah kami ditempatkan di tingkat syurga yang sama? Jika iya, ALHAMDULILLAH. Jika tidak, apa saya benar-benar tak punya kesempatan lagi?

Sahabat, bayangkan. Tak jarang saya berbisik pada Tuhan, bolehkah dipertemukan dengan papa barang lima menit saja? Lima menit saja. Kadang papa muncul di alam mimpi, ya, begitu saja cukup. Namun, kelak, kumpulkanlah kami sekeluarga kelak di syurga-Mu ya Rabb.. Itu impian saya. Ada mama, papa, saya, dan adik-adik duduk melingkar di dalamnya. Mengatakan betapa lamanya penantian hingga tiba waktunya perjumpaan.

Apa tujuan saya memosting tulisan ini? Saya harap, teman-teman yang masih diberi kesempatan, diberi waktu lebih panjang bersama papa dan mamanya, menyayangi mereka baik-baik. Tunjukkan betapa sayangnya kamu pada mama, pada papa. Lontarkan kata cinta itu banyak-banyak. Ya, sebanyak mungkin kalau bisa. Perlakukan keduanya dengan lembut, ciumi tangan mereka, taatlah pada perintah mereka. Baik-baiklah. Sebab, papa bahkan mama bukanlah milikmu seorang. Sama halnya denganmu, kita semua adalah milik Allah. Tentu suatu saat Allah akan mengambil milik-Nya menghadap-Nya.

Sekali lagi, jauhilah membenci. Apa kamu tak tau seberapa sering ia bangun malam hanya untuk mendoakanmu lama-lama. Apa kamu tau bahkan shalatnya sendiri sering tertunda hanya untuk mencukupkan kebutuhanmu? Apa kamu tak pernah menyadari bahwa ia selalu memberikan makanan bahkan barang-barang terbaik untukmu, sedang ia sendiri merasa tak membutuhkan apapun. Lalu, apakah kamu tak ingat berapa kali ia memaafkanmu bahkan sebelum kamu sempat mengucapkan maaf? Berapa kali kamu menyakiti, namun ia senantiasa mengayomi? Tak peduli seberapa kasar kata-katamu, seburuk apa tingkah lakumu. Mereka akan tetap baik padamu karena kamu adalah anaknya. Apa kamu tak tau betapa ia selalu mengharapkanmu tumbuh dengan baik, itu saja. Lalu, apa yang membuatmu membantah ucapannya, tak menghiraukan nasehatnya, menuntutnya yang macam-macam. Jangan teriaki mereka, sungguh, kamu tak berhak, sama sekali tak berhak. Apa kamu sanggup mengganti dua puluh tahun kasih sayang mereka, pengharapan mereka, dan perjuangan mereka? TIDAK, SAMA SEKALI TIDAK. Bahkan jika kamu punya uang segunung, itu sama sekali tak ada artinya. Mereka ikhlas melakukan semuanya karena kamu adalah anaknya. Namun, bagaimana sebaliknya? Apa kamu seikhlas mereka? setangguh mereka? seperkasa mereka? Tidak, sama sekali tidak.

Saya menyesal, makanya saya menulis semua ini. Berharap jadi pengingat bagi teman-teman. Sebab, seringkali kita menyadari betapa 'berharga'nya sesuatu itu saat 'kehilangan'. Ya, itu saja tulisan saya hari ini. Jika pun membenci, cobalah sedikit demi sedikit untuk mencintai. Hingga pada akhirnya kamu mencintai ayah ibu dengan utuh. Perlakukan beliau baik-baik, sebab merekalah peri-peri yang dikirimkan Tuhan agar kamu senantiasa mendapatkan ketentraman dan kenyamanan. Bilang bahwa kamu mencintai mereka, menyayangi mereka. Katakan banyak-banyak, selagi bisa, selagi Tuhan mengkehendaki.

Mari berdoa sejenak.
Ya Allah, ampunilah dosaku dan dosa papa dan mamaku.
Sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangi kami sejak kecil.
Ampunilah kesalahannya, berkahilah umurnya.
Sayangi mereka Ya Allah.
Pertemukanlah kami kelak di syurga-Mu.
Tuntun kami untuk senantiasa dalam kebaikan.
Ya Allah, lapangkanlah kubur papaku.
Ampuni kesalahan-kesalahannya.
Beratkanlah timbangan kebaikannya.
Lindungilah ia dari siksa api neraka.
Ya Allah, berilah mama nikmat kesehatan dan kekuatan.
Berkahilah umurnya ya Allah.
Bantu hamba agar senantiasa bisa membuatnya tersenyum.
Mudahkan rezekinya ya Allah.
Dekap dia dengan kasih sayangmu.
Ampunilah segala kesalahannya.
Beri hamba waktu yang lama bersamanya di dunia ya Allah. 
Waktu yang panjang, amat panjang.
Aamiin. Aamiin. Aamiin.

Isakan tadi pada akhirnya berhenti. Menyisakan warna merah pada kedua bola mata saya. Namun, hati saya lega. Pada akhirnya, saya menyampaikan 'semua'nya. Ya, 'semua' yang perlu diketahui tentang seorang anak yang kehilangan orang berharga dalam hidupnya. Kuatlah, sebab kamu tetap saja masih beruntung dibanding mereka yang bahkan sejak kecilnya telah kehilangan sosok ayah ibu. Tiba-tiba, saya teringat ucapan salah seorang guru saya, Buk Mul. Begini penuturan beliau,

"Nak, walau kita tak punya ayah atau tak punya ibu, masih banyak yang bisa menjadi ayah dan ibu bagi kita, asal kita mau menimba pengalaman darinya."

Sekian, dan selamat beristirahat. Kuatlah, lalu membaiklah. Iya sayang Papa, Mama, sampai kapan pun.

Komentar

Postingan Populer