Persiapan PL!


Bismillahirrohmanirrohiim. Bagaimana kabarnya, Sahabat? Semoga tetap cetar membahana, apapun kondisinya. Semoga Allah senantiasa menguatkan slogan yang sering disebut-sebut Ustad Yusuf Mansyur, ya. Allah dulu, Allah lagi, dan Allah terus. Beberapa waktu belakangan ini, saya memang sempat down dalam menulis. Tak tau harus membagi apa karena frekuensi membaca saya tak lagi sebanyak dulu. Waah, sepertinya saya harus mencari buku baru, dalam konotasi 'minjam'. Alhamdulillah, kembali Allah kirimkan seseorang yang hanya dengan membaca tulisannya, saya 'tersadarkan' bahwa saya tak boleh selamanya seperti ini.

Baiklah. Akhir-akhir ini, saya dan teman-teman bertitel mahasiswa tahun akhir heboh dengan berita bahwa "PL RESMI DIADAKAN".Wah, saya benar-benar syok. Pasalnya, berita ini terlampau mengejutkan mengingat jauh hari sebelumnya PL (Praktek Lapangan) memang dihapuskan untuk angkatan kami, BP 13. Setelah diadakan sosialisasi, maka pihak jurusan membuka diskusi terbuka dengan mahasiswa mengenai PL ini. Alhamdulillah, berita yang sempat menggemparkan warga FMIPA ini lama kelamaan redam. Jujur, dalam sanubari yang paling dalam, saya merasa sangat bahagia diberi kesempatan 'mengajar' di kelas.

Tepat jam 8.00 WIB esok hari, portal dibuka. Mohon doanya, sahabat, agar saya diberikan kesempatan mengajar di 'tempat yang terbaik'. Baik dalam artian menyenangkan dan mengesankan. Wah. Sekarang jam masih menunjukkan pukul 23.22 WIB. Dag dig dug. Jantung saya berdetak tak karuan, ditambah lagi ada sebuah perasaan yang sulit untuk didefinisikan. Saya berkonsultasi dengan beberapa orang yang saya percaya, sebenarnya apa yang harus saya siapkan untuk PL? Ada beberapa poin, diantaranya :
  • Niat yang mulia. Baik tidaknya sesuatu, tergantung pada niatnya. Jadikanlah niat kita untuk PL semata-mata untuk 'belajar' karena Allah. Selain itu, niatkan untuk menjalin silaturrahmi dengan 'orang-orang di dalamnya'. Orang-orang yang saya yakin tak hanya numpang lewat namun menetap dalam sanubari kita. Pernahkah kamu dengar bahwa beberapa orang kelak akan menjadi 'titik-titik penting' yang mengantarkan kita pada masa depan? Percayalah, dan bisa jadi orang-orang itu ada di sekolah tempat kamu ditempatkan. Karena selama kita yakin bahwa kita punya Allah, maka tak pernah ada kata kebetulan di dunia ini. Semua sudah tertulis rapi dalam Lauh Mahfudz-Nya.
  • Mental yang kuat. Saat kamu mulai PL, itu artinya secara tidak langsung kamu sudah terjun dalam lingkungan masyarakat. Saat kamu salah, bisa jadi ada yang marah. Juga besar kemungkinan beberapa siswa melancarkan serangan jitunya untuk menguji seberapa kuat tamengmu. Maka, disini kamu harus kuat. Tak ada lagi tempat kamu mengadu, kamu bertarung sendirian, namun sebenarnya Allah senantiasa menemani. Maka, kuatlah. Tegarlah. Lalu, berdirilah dengan tegap apapun yang terjadi. Kamu seorang guru sekarang! 
  • Karakter yang baik. Kapan pun, dimana pun, seorang muslim harus memiliki karakter yang baik. Termasuk PL adalah satu diantaranya. Di tempat ini, kamu akan berinteraksi dengan banyak orang. Jadi, jagalah perkataan dengan sebaik-baiknya. Cukup bicara jika kamu rasa itu memang dibutuhkan. Santunlah jika berbicara dengan seseorang yang lebih tua. Hargai, hormati, sayangi, layaknya orang tuamu sendiri. Nenek saya sering bilang bahwa ruh manusia itu berhubungan satu sama lain. Saat kamu merasa bersalah, bukan tak mungkin ada seseorang di luar sana yang memang sedang marah padamu. Jika kamu merasa rindu, bisa jadi seseorang itu juga tengah menyimpan rindu. Dan saya sudah buktikan ini. Jadi, sayangi mereka dan perlakukan mereka sebaik-baiknya. Karena dengannya, mereka juga akan merasa 'sayang' padamu.
  • Terbuka. Bersikaplah terbuka kapan saja dan dimana saja. Terbuka dalam artian bisa menerima masukan dan kritikan dengan hati lapang. Terbuka mendengarkan keluhan dan curhatan siswa. Ya, semoga kita mampu menjadi pendengar sekaligus pemberi solusi yang baik. Wah, semakin tak sabar jadinya.
  • Penampilan. Nah, inilah yang menjadi topik paling krusial antara saya dan Dosen PA saya tiga hari yang lalu. Ketika itu, saya dan teman saya mengunjungi beliau di ruang dosen. Lama bincang-bincang mengenai PL, tak lama setelah itu, beliau menatap saya. "Nadia, saat Ibu melihat Nadia, Ibu teringat diri Ibu yang dulu". Saya tercengang. Ibu kira-kira ingat apa, ya? "Nadia, Ibu saat masih bertitel mahasiswa, Ibu ga pernah make up. Pasti pakai bedak baby, habis itu langsung pergi ke kampus. Benar-benar polos". Saya terdiam selama lima belas detik, hingga beliau melanjutkan, "Nadia, saat kamu PL nanti, ayo pakai lipstik sedikit. Ga perlu menor, namun yang penting enak dilihat sama siswanya nanti. Kalau tidak, kita sebagai guru akan kelihatan lelah saat ngajar nanti". Tawa saya seketika meledak. Ya Allah. Ibundaku ini. Tapi saya tau betul makna yang hendak disampaikan Ibu. Inshaa Allah saya akan mulai belajar. Bukan belajar make up, maksud saya. Tapi, belajar agar penampilan saya enak dilihat. Saya sharing dengan kakak tingkat dan beliau menganjurkan saya memakai lipstik alami dengan warna bibir, tidak menimbulkan kesan mengkilap. Juga inshaa Allah menyehatkan. Haha, memang tidak terbayangkan, namun saya membenarkan nasehat dari Ibu PA saya. Ya, kita harus enak dilihat siswa, namun tetap menjaga syariat. Lalu, Ibu menunjuk sepatu karet saya. "Nadia, pas PL nanti, kamu juga ga bisa pakai sepatu karet itu." Tawa saya meledak untuk kedua kalinya. Alhamdulillah Ibunda saya ini begitu perhatian dengan mahasiswa bimbingannya, mungkin karena sama-sama wanita. Jadi pesannya ibarat Ibu ke anak. Saya harus mengenakan sepatu ke sekolah nanti, tentunya sepatu yang berbeda dengan siswa. Dan terakhir, Ibu menunjuk ransel coklat kebanggaan saya. "Nadia, kamu juga ga bisa pakai ransel coklat ini". Saya kembali tertawa. Menatap ekspresi Ibu mengingatkan saya pada Mama di rumah. Persis sekali raut wajah dan nasehat menghakiminya. Saya hanya tertawa dalam batin. Tapi jujur, saya tak bisa melepaskan ransel ini. Begitu banyak dosen dengan gelarnya yang sudah selangit, namun masih menyandang ransel besar yang luar biasa beratnya. Sahabat saya, Yuni, yang mengajarkan. Menyandang ransel, bukan berarti kamu melanggar aturan. Ransel yang besar menunjukkan bahwa kamu tak setengah-setengah dengan komitmenmu. Ransel juga menunjukkan bahwa hidup ini berat dan tak bisa dijalani dengan santai. Kita harus punya dua pundak yang kuat untuk melewati semuanya. Saya sering melihat guru-guru TK di Jepang menyandang ransel yang besar ke sekolah. Jadi, tak ada salahnya juga saya selaku guru kimia menyandang ransel ke sekolah, bukan? Karena inilah saya, dan saya ingin siswa menilai saya bukan dari apa yang saya kenakan, namun, lebih dari itu.
Hehe, sepertinya di masalah penampilan lebih panjang bahasannya, ya. Semoga manfaat. Oh ya, mohon doanya agar saya dapat kuota di tempat yang tepat, ya. Karena setiap sekolah hanya membuka kesempatan untuk tiga orang mahasiswa kimia. Mohon doanya agar saya dan Marisa (teman sekamar) masuk diantaranya, ya. Salam mahasiswa!

Komentar

Postingan Populer