Jangan Menjadi Guru!


Pukul 00.57 AM. Semua orang terlelap sudah. Tinggallah saya dengan notebook kesayangan yang setia menemani. Tak lupa saya putar alunan musik yang lembut, serasa malam hanyalah milik saya seorang. Genap dua bulan saya tak menulis di blog ini. Berulangkali saya merasa harus berhenti menulis, karena seringkali apa yang kita tulis belum tentu dapat tertunaikan dengan baik. Namun tak sedikitpun Allah biarkan hal itu terjadi. Ada saja orang-orang baik yang dikirim Allah untuk 'memarahi saya' agar saya terus menulis, terus berkarya, terus berbagi.

Saya belumlah baik, namun dengan menulis, paling tidak saya 'belajar untuk menjadi baik'. Jika harus diteli, banyak sekali ungkapan syukur yang hendak saya ceritakan pada sahabat semua. Dimulai dari pertama kali saya menginjakkan kaki di dunia sekolah. Kembali sebagai seorang guru, bukan lagi sebagai siswa. Di hari pertama sekolah, saya kenakan baju dinas warna coklat, saya kenakan sepatu hak tinggi, saya belajar pakai lipstik, bahkan saya menyandang tas samping yang bisa dikatakan guru banget! Apa yang terjadi? Jangan tanya, karena saya tak merasa nyaman dengan penampilan saya kala itu. Rasanya, bukan Nadia Minangi Dasman jika  berpenampilan seperti itu. Akhirnya, beberapa hari kemudian, saya ganti penampilan. Kembali menjadi diri saya yang biasa, mengenakan sepatu karet, bibir tanpa polesan lisptik, sambil nyandang ransel kesana kemari. Dengannya, saya bisa berlari bebas (lokal siswa jauh dari kantor sehingga saya harus ngebut), di dalam ransel ada laptop, colokan, buku, wah, pokoknya banyak, di tangan kanan ada infokus, dan di tangan kiri ada daftar hadir siswa. Rempong, begitulah bahasanya.

Namun di balik itu, banyak sekali hikmah yang saya syukuri. Mulai dari bagaimana Allah menggerakkan hati saya untuk memilih SMAN 3 Payakumbuh sebagai lokasi Praktek Lapangan (PL), pertemuan saya dengan Drs. Erwin Satriadi, M.Pd, seorang kepala sekolah yang begitu menginspirasi. Masih terngiang hingga sekarang ucapan beliau seperti ini,
 "Nadia punya akses ke sekolah ini hanya dalam rentang waktu tiga bulan. Karena itu, bercapek-capeklah. Cari ilmu sebanyak-banyaknya. Karena ilmu yang sesungguhnya adalah saat kalian terjun ke lapangan."
Kemudian, Allah pilihkan saya guru pamong yang amat baik, amat keibuan. Tempat saya terisak saat tak seorang pun tau apa yang saya rasakan, tempat saya mengadu saat saya punya sebuah rahasia yang tak bisa diungkapkan, tempat saya belajar banyak hal tentang kehidupan. Beliaulah Dra. Nelvida M, yang kasihnya tak terhitung, yang sayangnya tak berbilang. Saya tak biasa menangis di hadapan orang asing, namun Ibu, bukan lagi orang asing. Bahkan di hari pertama saya ngajar. Apa ucapan beliau saat saya merasa kehilangan percaya diri untuk menjadi seorang guru?
"Nadia, itu hal biasa. Nadia kan masih dalam tahap belajar. Orang lain saja bajunya sampai keringatan karena gugup. Nadia udah bagus itu."
Bukannya senyum, saya malah tambah nangis. Saya jadi ingat Mama di rumah. Bu Nelvida, keibuan sekali. Bersyukur sekali anak-anak mendapatkan sosok guru yang seperti ini. Bu Nelvida tegas, tapi hatinya lembut sekali.

Lalu, apa lagi yang terjadi? Saya ditempatkan Allah di kelas X MIA 1, X MIA 2, dan X MIA 3. Anak-anaknya, penyayang sekali. X MIA 1, adalah anak kandung saya, karena walasnya Ibu Nelvida. Saya selalu ajarkan pada mereka untuk bersikap elegan kapan pun dan dimana pun. Alhasil, saking menerapkan pengajaran saya, mereka kecolongan 10-0 main bola lawan anak IPS pas class meeting kemarin. Ada-ada saja. Bagaimana bisa sang kiper hilang di tengah pertandingan? Bagaimana mungkin mereka salah menendang bola ke gawang mereka sendiri? Hei, apa masuk akal bola melantun mengenai salah satu dari mereka, dan memantul memasuki gawang sendiri? Begitulah laporan dari anak-anak perempuan di MIA 1. Elegan dari mana ini. Ya Allah, mereka warisi dengan baik kelemahan saya dalam bidang olah raga. Maafkan Ibu yang tak bisa mendidik kalian dengan baik, ya, Nak. Haha. Anak X MIA 1, selalu menjadi pendengar yang baik untuk setiap cerita saya. Bahkan mereka pura-pura tertawa hanya untuk menyenangkan hati saya. Kala itu, saya menampilkan video. Kesalahan teknis terjadi, dan mereka tetap menonton tayangan yang ada walau suaranya tak kedengaran. Lihat, betapa baiknya mereka, Tuhan. Saat hari guru, mereka hadiahkan saya dan Bu Nelvida kue yang sangat cantik. Nama saya ikut terukir di atasnya. Ya Allah, bagaimana mungkin saya mendapat kado yang indah seperti ini disaat saya merasa belum pantas menjadi seorang guru? Lalu, apa lagi yang mereka lakukan? Kado mungil mereka ulurkan dengan senyum, satu untuk Bu Nelvida, dan satunya untuk saya. Ya Tuhan, sayangi anak-anak ini. Jadikan mereka orang hebat, orang sukses, yang selalu melibatkan Engkau dalam urusan apapun. Saya sayang sekali pada mereka. Walau mereka kadang usil, berulah, tapi mereka perhatian sekali. Ibu sayang sekali dengan X MIA 1.

Beda halnya dengan X MIA 1 yang menjaga keeleganan mereka dengan baik, X MIA 2 tidak elegan sama sekali. Anaknya riang, heboh, dan energik. Ya, seperti itulah cara mereka belajar, dan saya menikmatinya. Saya masih ingat saat masuk perdana di lokal ini tanpa ditemani Bu Nelvida. Saat saya menuju kelas sepuluh menit lebih awal, tak seorang siswa pun saya dapati di kelas. Saat tanya sana sini, ternyata anak-anak itu sedang belajar di Labor Biologi. Lima belas menit kemudian, satu per satu anak memasuki kelas dengan wajah kusut. Ada tatapan tidak senang di mata mereka. Dan saya terpaksa menyambut kedatangan mereka dengan lembaran ujian. Mereka mengerjakan, hanya saja aura 'tidak senang' itu masih saya rasakan. Setelah ujian selesai, saya meminta mereka membaca materi. Respon mereka sangat tak terduga. Beberapa anak nurut, mereka membaca. Sebagian dari mereka mengeluh dan menatap saya kesal. Beberapa lagi, asyik selfie. Saya tanya, 'Kalian ada masalah apa? Kenapa kalian marah?' Beberapa anak menjawab, "Ibu, kami capek, Bu. Tadi pas belajar biologi, kami mengerjakan tugas, Bu. Banyak. Habis itu, kami ujian kimia, Bu. Terakhir, Ibu minta kami memahami materi. Kami capek, Bu." Saya terdiam. Tak menyangka ternyata itulah yang menyebabkan anak-anak berwajah kusut. Tak mungkin mengajar anak-anak dalam situasi seperti ini, hingga saya meminta mereka menjawab pertanyaan saya di dalam selembar kertas.

"Siapa saya?"
"Apa kelebihan dan kekurangan saya?"
"Siapa orang yang paling saya cintai?"
"Apa yang akan saya lakukan untuk orang yang saya cintai?"


Lokal X MIA 2 yang terkenal heboh, tiba-tiba senyap. Mereka berpikir keras untuk memecahkan pertanyaan demi pertanyaan tersebut. Tugas seorang guru adalah mengingatkan mereka bahwa mereka masih punya orang-orang terdekat yang perlu dibahagiakan. Dan itu tak akan didapatkan hanya dengan mengeluh, berpangku tangan, bahkan malas-malasan. Suasana kelas berubah, mereka akhirnya menatap saya dengan tatapan penuh kasih, penuh sayang. Lokal yang heboh, namun segudang prestasi di dalamnya.


Terakhir, adalah kelas X MIA 3. Sebuah kelas yang membuat saya terisak untuk pertama kalinya. Sebuah kelas yang membuat saya berpikir ulang, "Apakah saya pantas untuk menjadi seorang guru?". Sebuah kelas yang pada akhirnya saya paham, karakter anak-anak di dalamnya memang sedikit berbeda. Jingkrak-jingkraknya sedikit sukar dipahami. Haha. Pertama masuk, mereka bukannya di dalam kelas, malah asyik berkeliaran di luar. Akhirnya saya terapkan peraturan, pelajaran kimia dimulai 15 menit lebih lama dari jadwal, dengan syarat mereka tidak istirahat lagi nanti. Aneh, mereka dengan mudahnya bilang sepakat. X MIA 3, memang anak-anaknya berbeda. Saat saya menerangkan, ada yang sempat jalan ke depan hanya untuk duduk mencharge hp, ada yang keluar masuk entah pergi kemana, ada yang malah main game di belakang. Saya sih tak marah, asal mereka dapat melakukan dua hal dalam waktu yang sama, apa yang salah? Toh, mereka tetap simak pelajaran saya. X MIA 3 juga yang pada akhirnya mengajarkan pada saya bahwa "Guru tak mampu mengubah siswa jika siswa itu tak mengubah dirinya terlebih dahulu." Dan X MIA 3 juga yang mengajarkan pada saya mengajar dengan tulus, tak mengharapkan pujian, rasa kagum, bahkan apapun dari siswa. Cukup mengajar mereka dengan tulus, tak perlu penghargaan atau semacamnya. Lalu apa yang terjadi, esok-esoknya saat saya melangkah mendekati lokal mereka, beberapa mendekat untuk membantu saya membawa infokus, dan membantu memasangkannya tanpa saya minta. Jleb. Rasanya mata saya basah, mendapati sikap anak-anak ini.

Tiga bulan sudah saya mengajar di sekolah itu. Hei, kamu melewatinya dengan baik, Nadia. You are great, kamu bisa! Saya harus lebih banyak memotivasi diri saya sendiri. Agar saya tetap melangkah, apapun yang terjadi. Andai anak-anak itu tau betapa saya merindukan tawa mereka, canda mereka, dongkol mereka, tingkah konyol mereka. Apakah saya akan baik-baik saja tanpa mereka nantinya? Harus! Saya harus kuat, karena saya, adalah guru mereka.

Masih banyak pelabuhan lain yang menanti, masih banyak petualangan yang harus diarungi.

Dari banyak tempat, 'kalian' akan selalu tersimpan di dalam hati.
Ibu sayang kalian. Sayang sekali.


Pesan saya, jangan menjadi guru! Karena ketika kamu memilih jalan sebagai guru, maka kamu akan terjebak di dalam dunia sekolah yang sangat menyenangkan. Kamu akan bertemu banyak anak yang berkerumun hanya untuk menyalamimu. Setiap hari, ada saja cerita menyenangkan yang dilaporkan siswa padamu. Ada tawa dan air mata yang kalian lewati bersama-sama. Setelah semua itu, sanggupkah kamu tinggalkan sekolah? Sanggupkah kau tinggalkan anak-anak? Kalau tidak sanggup, maka jangan menjadi guru!

Tak sedikitpun perasaan sesal menempuh jalan ini. Saya bahagia diberi kesempatan menjadi guru, walau hanya dua bulan. Segala puji bagimu ya Allah, yang membuatku belajar banyak, bersyukur amat banyak.

Komentar

  1. Akhirnya bu guru nulis lagi 😊
    Udah lama lho di tunggu tulisannya
    keren nad
    semangat teruuus

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer