Uhibbuki Fillah

Seseorang yang jika bersamanya, surga terasa semakin dekat. Bisa saja sahabat ataupun dia yang terikat karena akad. Hari ini fokus pada yang pertama, yaitu sahabat. Ada seorang sahabat, yang begitu saya sayangi. Seseorang yang dari lisannya tak pernah terucap amarah, selalu ada bahkan disaat saya tak mampu lagi berbuat apa-apa.

Allah pertemukan saya dengannya tepat di hari pertama perkuliahan. Ketika itu, dosen meminta kami untuk menyelesaikan sebuah tugas secara berkelompok. Lalu, Allah sandingkan nama saya dengan namanya dalam kelompok itu. Kami berbincang tentang banyak hal, merasa cocok walau pertama kali bersua. Dan menghabiskan waktu bersamanya, akan selalu menyenangkan. Saya belajar banyak hal darinya, termasuk membiasakan shalat dhuha adalah karena ajakannya.

"Kenapa rasanya shalat dhuha itu hambar, ya? tanya saya setiapkali dia ajak shalat. Dan dia hanya tersenyum menanggapi. Ia biasakan saya untuk menunaikan shalat dhuha di dekatnya. Lalu apa yang terjadi? Setelah satu bulan, saya merasa butuh sekali untuk shalat dhuha. Kalau tidak, ada yang kurang rasanya. Ya, dia memang tak perlu menjelaskan apapun, dia hanya butuh tersenyum untuk saya paham hal sederhana itu. Hal dimana sebuah kebiasaan yang dilakukan berulang akan menjelma menjadi kebutuhan.

Pernah suatu ketika, tanpa saya sadari, saya memarahinya. Dia terdiam dan pada akhirnya terisak. Sahabat saya ini tak pernah membalas kalimat saya yang tak seharusnya. Ia hanya diam dan pada akhirnya terisak. Hingga akhirnya, saya mengejarnya. Dan matanya masih basah. Ya Allah, saya benar-benar merasa bersalah. Apa yang saya lakukan pada seseorang yang sudah saya anggap saudara sendiri ini? Saya ucapkan maaf berkali-kali, dan dibalik air matanya, ia mengangguk. Lalu, bagaimana mungkin saya tak menyayanginya? Bahkan setelah menyakitinya, ia selalu saja memaafkan saya, tersenyum pada saya.

Saya jarang sekali menangis. Hampir tak pernah saya menunjukkan emosi saya pada kebanyakan orang. Bahkan setelah seseorang membuat saya menangis, saya hanya perlu berjalan sendirian dan melepaskan gejolak jiwa saya. Saya lepaskan semuanya, tangis, amarah, dan sikap menyalahkan. Saat semuanya tenang, maka hati akan kembali terkendali. Namun tidak halnya jika di hadapan sahabat saya ini. Disaat terjepit, maka saya akan menangis padanya. Ia rangkul saya bagaikan seorang ibu, dan ia kuatkan saya ibarat seorang kakak. Ia temani saya, selalu.

Shalatnya selalu di awal waktu, tilawah tak pernah berhenti dibisikkan lisannya, belum lagi senyum yang selalu menghiasi wajahnya. Menatap wajahnya, begitu menentramkan, hasil dari sujud malamnya.

Ya Allah, sayangilah ia selalu. Dekap dia dengan penuh kasih sayang. Pertemukan ia dengan seorang imam yang akan membuatnya berlari menuju surga. Bantu ia mencoreti satu per satu impiannya, Ya Allah.

Untukmu Juli Saniati, tetaplah jadi sahabatku, bahkan disaat kita sudah tak mampu mengenang banyak hal lagi. Aku ingin selalu bersama dan membersamaimu, kawan. Uhibbuki Fillah! Nadia mencintai uli, karena Allah. Nadia sayang uli. Sayang sekali.

Komentar

Postingan Populer