Aina dan Pernikahannya


Cerita ini bermula dari curhatan seorang sahabat yang telah menempuh usia tiga tahun pernikahan. Usia yang terbilang muda, namun yakinlah kamu akan mendapati sesuatu dari tulisan ini. Bukankah suatu hari nanti kamu juga akan melalui hal yang serupa? Maka bersiaplah, walau hanya dengan jalan menyimak cerita.
 
Namanya Aina. Aina adalah kenalan saya. Seorang wanita yang berani mengambil keputusan besar untuk menikah di usianya 21 tahun. Alasannya, ia merasa sudah saatnya untuk menggenapkan separuh agama. Jika ingin dewasa, maka menikahlah. Dalam pernikahan akan banyak hal yang akan membuatmu dewasa. Iya, itu saja alasannya. Disaat teman-temannya asyik ngumpul, belanja di mall, jalan-jalan sana sini, ia malah sudah punya amanah yang lebih berat untuk menjadi seorang istri. 

Apa yang berubah? Tentu saja pergaulannya mulai dijaga, waktunya diatur, kemana-mana izin suaminya. Tak lagi seperti yang sudah-sudah, dimana sebelumnya ia punya waktu 24 jam untuk dirinya sendiri. Tak ada keluhan. Ia bahkan menikmatinya dengan senyuman.

Suaminya  adalah seseorang yang baik agama dan akhlaknya. Tak pernah mengenal dekat wanita lain selain istri yang telah dinikahinya. Menjaga pandangannya. Menjaga lisannya. Amat baik memperlakukan istrinya. Amat sayang pada mertuanya.

Lalu menurutmu masalah apa yang muncul dengan situasi sentosa seperti itu? Masalah justru hadir sebelum hari pernikahan. Sebelumnya, mereka akur-akur saja, Namun masalah justru hadir dari pihak keluarga wanita. Mereka berkeinginan agar anak perempuannya diberikan tunjangan sekian juta per bulan, dibiarkan bekerja untuk memberdayakan gelar sarjananya, dan tak diizinkan untuk keluar dari kampung halamannya. Permintaan wajar orang tua untuk kebaikan anaknya.

Aina merasa serba salah. Harus mengikuti orang tuanya yang telah bersusah payah membesarkannya atau mengikuti keputusan seseorang yang akan Allah pilihkan menjadi suaminya. Saya rasa, masalah ini yang paling sering membuat wanita frustasi. Bagaimana mempertemukan keduanya?

Setelah dikomunikasikan, terungkaplah bahwa pihak laki-laki keberatan dengan syarat pertama yang ditawarkan keluarga wanita. Berkeinginan untuk memenuhi, namun penghasilan belum menyanggupi. Maka Aina terus berpikir keras bagaimana untuk mempertemukan keduanya. Hingga setelah mengadu pada Allah, terlintas sebuah ide dalam benaknya. Maka ia pun mulai menjalankan rencananya.

Suatu hari, ia pergi makan keluar bersama sang Ibu. Sambil menyantap makanan yang terhidang, Aina mulai menjalankan aksinya.
“Bu. Aina sudah membicarakannya dengan beliau, terkait apa yang Ibu harapkan darinya untuk Aina. Beliau ingin sekali memenuhi permintaan Ibu. Bahkan beliau akan mengusahakannya. Bagaimanapun baginya, Aina adalah tanggung jawabnya. Tapi Bu, menurut Aina beliau butuh waktu.”
Sang Ibu yang mendengar kesungguhan dari calon menantunya, menatap Aina lekat-lekat. Kemudian, beliau tersenyum. Lantas mengangguk.

Aina menghela nafas lega. Kemudian ia lanjutkan kalimatnya.
“Bu. Ada satu hal yang belum Aina kasih tau pada Ibu. Doa yang selalu Aina panjatkan tanpa siapapun tahu. Doa tentang jodoh yang Aina inginkan. Ibu tau apa doa Aina? Aina berdoa, semoga Allah mempertemukan Aina dengan seseorang yang menyayangi ibu seperti orang tuanya sendiri. Dengannya Aina tenang, karena apapun keputusan yang diambilnya, sama sekali tak merugikan ibu. Karena ia menyayangi ibu. Maka jika benar kami menikah, maka ia adalah jawaban dari doanya Aina Bu. Mungkin ia tak kaya, kerjaannya belum tetap, penghasilannya tak besar. Wajar saja, karena Aina tak minta lelaki kaya. Aina hanya minta lelaki yang begitu sayang pada Ibu. Jadi ibu jangan marah, ya.”
Tiba-tiba sang Ibu tak sanggup lagi menahan isak tangisnya. Tubuhnya bergetar hebat. Air matanya tumpah. Lalu, ia peluk Aina dengan kuat. Ah, bagaimana mungkin untuk urusan jodoh, sang anak terus saja menjadikannya prioritas? Mata Aina pun basah. Sang Ibu mengangguk berkali-kali, “Ibu tak meminta apa-apa lagi, Nak. Cukuplah kamu berbahagia. Itu lebih dari cukup bagi Ibu.”

Tak lama setelahnya, beliau menikah dan hidup bahagia seperti cerita saya sebelumnya. Maka perhatikanlah fokus kita dalam cerita ini. Bahwa sejatinya, Aina tak pernah menyalahkan pasangan. Yang ia salahkan justru dirinya yang tak mendoakan apa-apa yang ibu harapkan. Namun ketika yang menjadi prioritas doanya adalah ibu, amatilah keajaiban yang terjadi. Seketika, masalah lenyap.

Kemudian perhatikanlah bagaimana Aina menghubungkan dua orang terkasihnya dalam obrolan. Amati bahasa penyampaiannya yang ringan dan penuh kesungguhan. Tak pernah memojokkan salah satu pihak. Ia rangkul erat keduanya dengan bahasa yang kuat dan mengagumkan. Maka demikianlah cara wanita bersikap setelah pernikahan.

Bayangkan saja jika kalimat yang Aina lontarkan seperti ini. 
“Bu, beliau tak menyanggupi, Bu. Penghasilannya tak mencukupi.” 
Bisa kamu bayangkan apa yang akan terjadi? Kemungkinan terburuk yang akan terjadi adalah ibu akan membatalkan pernikahan anaknya secara sepihak. Bagaimana mungkin anak perempuan yang amat disayanginya justru diberikan secara percuma pada seorang lelaki yang bahkan tak mengusahakan apapun untuk anaknya.

Satu hal yang perlu kamu tau, bahwa seorang Ibu menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Maka jangan heran ketika anak perempuannya mengenalkan seorang laki-laki padanya, maka hal pertama yang akan ia uji adalah seberapa sanggup ia membahagiakan anaknya. Jangan juga heran ketika hal-hal seputar materi dipertanyakan, karena sungguh ibu tak rela melihat anaknya sengsara. Dan banyak laki-laki melewatkan hal itu. Beranggapan pihak keluarga wanita ‘matre'. Padahal sungguh tidak, mereka hanya ingin memastikan anaknya baik-baik saja. Lihatlah, mereka hanya ingin bagian untuk anaknya, sama sekali tak minta bagian untuk mereka, bukan?

Komunikasimu diasah saat mulai mengarungi bahtera rumah tangga. Cara pandangmu yang ‘out of the box’ dituntut saat mulai membina keluarga. Teruslah berprasangka baik, agar hubunganmu dengan orang tua maupun pasangan selalu terjaga. 

Menikah itu tak mudah. Penuh jerih lagi payah. Bersusah-susah. Namun ingatlah bahwa menikah itu selama-lama ibadah. Bagi yang sanggup segerakanlah. Dengan menikah, banyak hal yang akan membuatmu dewasa. Bukankah kamu sudah belajar banyak dari seuntai cerita Aina?  


Komentar

Postingan Populer